orang-orang jakarta sangat adaptif dengan kondisi bau mereka. Sepertinya, mereka adalah komunitas yang paling bisa beradaptasi dengan berbagai jenis polusi. Lewat kampung cipinang yang sempit dan kalinya hitam legam, bau tak karuan,... hanya aku saja yang sempat menekan hidung, sedang penumpang angkot lain atau orang lewat sepertinya tidak pernah menganggap bau itu ada.

Sama saja ketika ke muara angke minggu kemarin. Jalanan sempit dan kerumunan bocah selalu mengingatkanku pada code. tapi, bau menyengat dari air yang gelap gulita, segelap kemiskinan mereka, membuyarkan anganku. Hari minggu itu memang jatahku pergi ke luar kantor (yang busuk)... pulang ke ciledug, rencananya memperbaiki komputer tapi ternyata ada yang kurang. Maka, jadilah aku pergi ke muara angke diantar mas wahid.

Pertama-tama, begini, perjalanan ini dimulai dari rumah mas wahid yang dindingnya seng teyengan. Rumah sempit memanjang dua lantai.... apa itu cukup mewah ya? Lantainya dingin, suasananya lembab, dan rasa kemiskinannya sangat terasa... (Jadi bertanya-tanya.... apa aku selalu didekatkan pada orang miskin-kere, yang ruamhnya rapuh dan kehidupannya janggal, ya? Yah, karena aku sendiri dari golongan mereka, kali ya... hahahaha) Anak mas wahid, rizki, tampak kurus tapi tinggi dan gagap. kukira akan cocok jadi pelawak, tapi harus lebih cerdas... sayangnya, kemiskinan kadang penyebab kebodohan dan bukan sebaliknya. kami bertiga ke muara angke. tak pernah kubayangkan bagaimana wujud muara angke itu... ya, aneh mungkin. Kami masuk kampung nelayan, bukan ke tempat-tempat yang bersih dan rapi, dan disambut satpam yang ramah, tapi sebuah jalinan jalan penuh tikungan, comberan, bau ikan busuk, rob, dan anak-anak yang memainkan bola di tengah jalan.

Aku tidak mendapatkan laut seperti yang kuingini. Laut itu warnaya biru, kan? Seingatku, laut selatan yang garang itu ada ombaknya. Tapi, ini laut begitu tenang. sampah-sampah mengumpul di tiap tempat dengan tenang dan aman, tidak ada yang mengusik kecuali beberapa pemulung yang hanya mendapatkan gelas plastik. laut kok coklat begini? Kok tidak kelihatan ikannya, hanya sampahnya saja? ah, akhirnya aku dapat sedikit hiburan dengan tiduran di atas ambin bambu, semacam dermaga yang semuanya dibuat dari bambu. Ya, hiburanku adalah warna biru dari langit, dan awan yang berombak. Pesawat terbang yang muncul berkali-kali seolah jadi kapalnya.

di kejauhan, ada beberapa bangunan tinggi-tinggi. Kukira itu apartemen daerah pantai kapuk yang seperti di tv. Hmmm, orang-orang miskin pasti menikmati pemandangan itu. dilihat dari kampung nelayan yang maburadul, yang asin dan bacin, apartemen mewah di pondok kapuk itu jauh lebih indah dan cantik. katanya, beberapa tempat, dulu, beberapa tahun lalu, masih banyak monyetnya. Hanya dalam lima atau sepuluh tahun, monyet-monyet itu telah pergi atau hilang, atau mereka sudah membeli beberapa apartemen mewah sehingga tidak lagi berkeliaran di jalan.

Sekarang, yang dulunya rawa-rawa telah jadi hunian mewah, jadi ruko, dan kantor-kantor. Luar biasa ini. Tanahnya saja seharga 10 juta per meter... wow. aku mau dong jadi orang kaya.... bukan kaya monyet, kaya duit lah.... money! biar bisa beli pantai, biar bisa beli ombak dan birunya, biar bisa mengusir mereka semua dari pantaiku. Ah, sudahlah... omong kosong itu. aku hanya ingin mengingat, bahwa kapal-kapal nelayan inilah yang selalu membuatku bermimpi tentang laut, tentang berlayar... seperti cerita yang kukatakan pada adikku sewaktu kecil dulu untuk mengantar tidur.