Aku pergi menumpang ribuan kereta
Kumuatkan dukaku di sana
Kudaki asap-asap rokokku
Dan di koporku
Kubawa alamat pacar-pacarku
Siapa pacar-pacarku di hari lalu? ....
“Kereta Api Duka”, Nizar Qobbani.

Laki-laki ini, yang bertelanjang dada dan memamerkan tulang-tulangnya di sana, meneguk siangnya yang dicampur pekat kopi. Ia marah-marah pagi ini, mengeluarkan anjingnya dari lidah yang jahat, memaki angin, memaki api, memaki panci, ia ingin membenci seseorang, ia ingin jadi lebih biadab. Dan, ia segera luruh, mengemasi pakaian kotor, merendamnya bersama sebagian rasa bencinya, menyapu halaman rumah yang dipenuhi kebencian, lalu mereguk kopi yang jadi kekasih sesaatnya.

Seorang anak laki-laki coklat-ke-gelap membuat ruangan tiga kali tiga-nya semakin dipenuhi benda-benda. Anak laki-laki itu adalah orang lain, suatu kenyataan yang akan membuatnya tidak nyaman berada di sana. Laki-laki ini memilih dirinya sendiri sebagai teman akrab, tapi dituntut untuk menghormati kehadiran anak laki-laki yang jadi “tanggungjawabnya”.

Laki-laki ini—aku—sudah pernah merasakan memelihara anak laki-laki “nakal” yang hobinya “menolak untuk sekolah”. Oki—kadang aku harus menambahi Jelly Drink di belakang namanya untuk menekankan betapa tertekannya aku—namanya, bocah paling menarik selama aku di sini. Mungkin karena obsesiku untuk jadi anak nakal baru muncul setelah aku terlanjur tua dan karatan, sehingga aku merasa perlu berkaca pada anak kecil yang sulit diajak kompromi itu. Hidupnya jauh lebih menarik daripada hidupku. Siksaannya lebih mengerikan daripada bayangan nerakaku. Dan minggatnya lebih jauh dari menggatku. Sebenarnya, oki yang akan tinggal di sini bersamaku lagi, tapi aku menolak karena sudah tidak punya kemampuan finansial untuk memeliharanya lagi. Jadi, sekarang dia tetap tinggal dengan tukang becak yang memeliharanya di luar sana, tidurnya di atas becak. Tapi, tiba-tiba, beberapa hari yang lalu, seorang laki-laki tua yang kukenal sebagai orang bantul menitipkan anaknya di sini, dengan segala benda-benda yang dibawanya sekadar untuk membuat semakin sempit 3x3 kamarku. Lemari, buku-buku tulis kumal, tas kecil penuh tempelan stiker, beras sekarung, lalu anak laki-laki coklat-ke-gelap itu mulai merubah tata letak kamarku. Dia menggunting kertas origamiku...! dia mengambil gorenganku! Dia menghabiskan permenku! Dia menyusun buku-bukuku yang aku ingin melihatnya berantakan! Dia menyusun identitasnya di mejaku; barang-barang temuannya, koleksi yang tidak berbentuk, parfum cassablanca, viva astrigent cucumber (uh, tuhanku!), jadwal sekolahnya di tembokku! Dia membuat tutup panci jadi gosong! Dia goreng arem-arem basi yang dikiranya bisa dimakan untuk sarapan. Dia juga ikut-ikutan minum kopi dan menghabiskan gula.
Ya tuhan... aku baru saja menolak pemberianmu yang agak kacau itu, dan kau berikan yang lebih kacau ini.

Kalau aku mau merasakannya sih masih banyak yang tidak kusukai, tapi aku harus lebih tenang dan santai menghadapi hal-hal tengik. Si slamet yang kerjanya tidur melulu dan menyolder barang-barang elektronik yang dikiranya bisa diperbaiki, sudah cukup membuat tempat tinggalku ini bau dengan apak sarung yang setahun ini belum dicuci. Orang-orang berebut mengatakan “itu bukan milikku” untuk menolak menyucinya. Aku merebut untuk mengatakan, “mereka mengacaukan milikku”. Milikku, ini milikku, ini barangku, ini juga rasanya aku memilikinya. Oh, milikku, aku mohon maaf telah mengaku memiliki kalian semua. Rasanya, terlalu pusing untuk memilikki sesuatu. Aku lebih bebas kalau tidak memiliki hal yang perlu dijaga, dirawat, dan dimilikki. Tapi, keegoisanku akan menuntutku memilikki sesuatu karena ia beralasan bahwa hidup perlu memperjuangkan kelangsungan kepemilikkan, entah untuk apa.

[ganti tema]
Sudah agak waras. Bebas dari kegilaan tidaklah mungkin. Baju yang kita kenakan membelenggu kegilaan itu rapat-rapat, sampai menembus rongga hati.
Di sebuah rongga, setiap orang yang berpikir yang artinya dia berimajinasi, memasuki rongga itu, sebuah keadaan yang baru dan diperbarui selalu muncul sebagai tempat manusia bermain-main dengan dirinya. Aku agak waras untuk menemukan tempat itu setiap kali memerlukan sesuatu yang menenangkan. Aku menemukan kemarahan juga di sana, duduk termangu menungguku. Tiap kali menatapnya, aku seperti menatap kaca. Dia sangat berbeda dari wujudnya yang nyata. Dia kelihatan bijak dan sibuk.
“Hai, Kemarahan, pertanyaanku hari ini adalah mengapa kau ada di sini?” aku sudah cukup lama mengagumi kehadirannya yang tidak jemu untuk menemukan momen menyenangkan, menjadi nyata.
Kemarahan hanyalah sesuatu, karena dalam kenyataan dia memerlukan hal lain untuk bisa eksis. Dia memerlukan momen itu, sebab-sebab, dan kesejatian manusia untuk marah. Dia sangat akrab dengan manusia, tapi manusia melupakan mereka saat merasa bijak dan sabar. Aku sering menatapnya menangis di dalam rongga, ia menyibukkan diri dengan melipat-lipat sesuatu yang tidak kuketahui.
“Aku adalah dirimu, kenapa kau merasa asing padaku?” katanya, berbalik menyerangku. “Aku selalu kau tarik ke dunia nyatamu yang busuk saat kau hendak roboh dari pendirianmu, kau membunuh orang-orang dengan memanfaatkanku, lidahmu bahkan lebih mengenalku daripada dirimu. Kenapa kau merasa asing denganku? Apakah kau merasa sudah bijak dan bermesraan dengan kesabaran yang hanyalah penjelmaan dari kemunafikkanmu?”
Aku merasakan kehangatannya, tapi aku tetap saja masih tidak dapat menangkap maksud kata-katanya. Kemarahan adalah hal tersulit untuk dilupakan, tapi aku masih canggung untuk mengajaknya bicara dan berkenalan lebih jauh. Aku bisa lebih akrab dengan kesombongan, tapi sulit mengenali kemarahan padahal dia selalu di sana dan siap sedia tiap kali aku memanggilnya. Dia adalah hal paling mengagumkan yang belum kukenali dengan baik.
Di rongga, yang setiap aku ke sana selalu nampak berbeda, kemarahan seringkali tidak sendirian. Ada banyak tempat, ada banyak hal, ada banyak pembicaraan, ada banyak perjumpaan, ada begitu banyak hal aneh, tetapi tidak ada tragedi karena juga tidak ada kenyataan di sana. Kemarahan selalu duduk dengan tenang, tangannya meremas sesuatu yag tidak kuketahui. Dari sana dia akan membawaku ke tempat-tempat kesenanganku; sebuah pencurian, sebuah kelaparan, sebuah kedok, sebuah tekanan, sebuah kemiskinan. Entah bagaimana dia sangat mengenalku sedangkan aku tidak tahu banyak tentang riwayat atau apa itu yang diremasnya setiap kali ia duduk istirahat di rongga. Aku tidak tahu apa yang ditangisi kemarahan, ia tidak menjawab pertanyaanku mengenai hal itu. Setiap kali aku ingin tahu, dia menyodorkan persoalan untukku sehingga aku lebih asik untuk memakan persoalan daripada memahami kemarahan. Aku merasa perlu banyak bergaul dengannya akhir-akhir ini, selaian karena aku selalu memerlukannya setiap hari aku juga bosan dengan hal-hal lain; kesabaran, kejujuran, kenikmatan, kesakitan.
Beberapa hari ke depan aku akan selalu menyempatkan diri untuk bicara dengannya di rongga, berjalan-jalan ke tempat-tempat favoritku dan melirik wajah cantiknya. Aku baru menyadari bahwa kemarahan itu sangat cantik, bahkan dibandingkan dengan kejujuran apalagi kebohongan.