dari jurnal:12 Apr. 08

Banyak cerita yang mestinya kau saksikan ... [ebiet g. ade; “berita kepada kawan”]

Seandainya aku pengamen, pengemis, penjual koran; seandainya aku ida. Aku pulang malam hampir tiap hari, akhir-akhir ini. Koran sore sudah habis, tapi jumlah kendaraan masih banyak dan aku perlu mengamen untuk memperoleh tambahan uang; untuk diberikan kepada ibuku. Ibuku yang sebenarnya bukan ibu kandung dan itu kuketahui beberapa tahun lalu tanpa perasaan kehilangan sesuatu; toh aku sudah tidak memiliki hal bagus sejak aku ingat menjadi diriku.

Aku merasa selalu berada di tempat paling bawah meski aku yang paling banyak menghasilkan uang. Aku dihajar, dicubit hingga menangis atau dipukul kepalaku. Kalau belum menangis dan memohon-mohon, ia tidak akan mengehentikannya. Makanya aku takut kalau pulang hanya membawa uang sedikit. Ia hanya akan sayang padaku kalau aku membawa uang cukup banyak, sekitar tiga puluh ribu setiap hari. Kadang aku mencari uang sampai tengah malam, karena biasanya semakin sulit mencari uang malam hari. Juga harus waspada kalau ada satpol pp. Aku tak berani pulang kalau uangnya kurang dan kadang itu bikin aku tidak ingin pulang, tapi wendi dan lain-lain akan mencoba mencari atau mengantarku pulang pada jam 3 dini hari. Aku sudah tidak ngantuk lagi untuk tidur, makanya aku pilih ngantuk di sekolah atau waktu di jalan.

Yah, itu hal biasa, sehari-hari sudah seperti itu. Makanya, tidak ada bedanya aku menceritakan yang kualami di jalan setiap hari dengan cerita anak-anak lain yang bermain-main dengan teman-temannya.

Di sekolah, banyak teman-temanku juga mencari uang di jalan, aku tidak begitu pandai. Tapi lebih baik daripada angga dan oki. Yang satu masih terus kelas satu selama tiga tahun, yang satu memilih tidak melanjutkan sekolah karena suka minggat dari rumah untuk main cs. Dan kalau minggat biasanya lama, bikin bingung orang yang cari dia dan kadang ia sampai ke tempat yang jauh seperti purwokerto; sekarang ia di desa. Mau jadi apa mereka kelak? Mungkin tetap jadi pengamen atau pemulung, itu cita-cita yang mungkin jika mereka mau. Aku sendiri.... kata orang, sulit bercita-cita kalau sudah dewasa karena yang dihadapi kenyataan.

Engkau pasti menuduhku, telah bersekutu dengan setan

Menyangka apa yang kumiliki, aku dapat dari dusta [ebiet g. ade, “isyu”]

Yeah... pagi bau harum sabun mandi tetangga yang mandi. Kamarku berantakan, tapi jauh lebih baik daripada pikiranku. Para coro masih tidur, seperti biasa, pada jam segini; apa yang mau mereka lakukan kalau bangun di pagi hari? Tidak ada, paling hanya linglung karena masih kena pengaruh alkohol. Dan lagi, rasanya mereka hanya akan mengotori warna pagi jika mereka bangun. Itulah kenapa mereka selalu bangun siang atau kadang agak sore. Tapi, buat apa nulis para coro, toh mereka hanya sejumlah manusia yang tidak punya pekerjaan saat ini.

Aku dapat pagi; untuk mengingat! Semalam mulai ngajar anak-anak jogoyudan dan ketemu devi; sebenarnya dia hanya adekku, maksudku dia itu proyek kecil. Tapi, semalam mungkin suasananya masih kurang baik. Aku kedinginan juga kalau ngajar di atas trotoar pada malam begitu, tapi itu ruang yang tersedia dan cukup dekat dengan mereka. Mau ke bawah, terlalu banyak orang mabuk dan aku tidak suka, lebih baik menghindari mereka. Yah, seperti itulah, kupikir aku tidak perlu ceritakan itu.

Aku sebenarnya sedang berpikir tentang cita-cita yang haram. Maksduku, bagi banyak anak sekarang, sebenarnya mereka tidak boleh bercita-cita terlalu jauh karena hanya akan tidak jadi apa-apa. Misalnya orang miskin jelata itu tidak mungkin bercita-cita jadi dokter karena selain butuh kecerdasan dan juga perlu puluhan juta atau ratusan untuk masuk fakultas kedokteran. Orang miskin sulit jadi cerdas karena kondisinya memang bikin mereka kayak gitua dan tidak mungkin mereka punya uang untuk sekolah setinggi itu; maksudnya setinggai jumlah uang itu.

Mungkin daftar cita-cita yang haram, sebagian besar cita-cita yang harus melewati sekolah tinggi adalah haram seperti ini; dokter, insinyur, arsitek, perawat/suster (kecuali suster ngesot), guru (karena perlu S1), polisi, tentara, politikus, reporter/ wartawan/presenter, manager, pengacara, jaksa, hakim, ..... bahkan jadi petani pun mungkin pada saatnya nanti juga tidak bisa, karena mereka terlanjur tidak punya tanah dan tidak terbiasa dengan tanah.

Banyak. Maksudnya hampir semua yang membuat orang sejahtera itu.

MUI; majelis untuk ini-itu