Hujan mulai turun pukul 3 dini hari. Gemetar suara gelegar mendahului guyuran di pagi buta. Ah, sebetulnya, tidak ada yang namanya pagi buta di jakarta. Semua benderang, semua masih seperti upaya melawan gelap yang lembut. Aku belum selesai dengan The Cuckoo's Calling (yang entah mengapa diterjemahkan jadi 'Dekut Burung Kukuk'). Tapi Roberth Galbraith, atau yang sesungguhnya J. K. Rowling, telah mencapai pada berhentinya teka-teki pembunuhan Lula Landry.

Hujan dini hari menekanku pada kantuk yang dalam, tapi tidak akan bisa nyenyak. Ada janji bangun pagi yang berdering-dering di kepala. Meski aku khawatir hujan ini akan sampai siang, sehingga tidak bisa aku berjalan keluar menuju stasiun tanpa basah kuyup. Jaraknya cukup untuk membuatku mandi kedua kalinya meski cuaca hanya gerimis.

Ketika pagi aku bangun, hujan masih bertalu-talu di luar. Kadang menderas, kadang mereda, tapi tidak pernah benar-benar terang. Dan akhirnya aku tahu hari ini matahari tidak tampak, jakarta dirundung mendung dan hujan. Kadang itu baik, memperbaiki udara dan mendinginkan panasnya suasana. Tapi aku tidak jadi pergi, meringkuk saja bersama The Cuckoo's Calling dan berlanjut ke Dua Belas Pasang Mata, novel jepang yang terbit pertama 1952. Beberapa orang belakangan melihat kesamaan dalam novel Laskar Pelangi, Andrea Hirata. Entah kesamaan macam apa, aku tidak tahu, karena aku tidak baca novel orang dari Belitong itu. Mungkin karena aku sudah patah hati dengan novelis-novelis indonesia terbaru--yah, entah apa itu arti novelis terbaru. Mungkin sejak aku membaca naskah teenlit dulu, sejak itu aku kendur mencari novel indonesia. Hihihihi...

Ya, toh, sebagian besar penulis kita dipengaruhi asing, mengapa tidak kita ambil sjaa (baca langsung) yang asing itu. Dari sanalah mulai menumpuk novel-novel orang luar...meski tidak sanggup aku membacanya dengan cepat. Hanya novel-novel detektif atau yang seperti Inferno itu yang kubaca tuntas dalam satu-dua hari. Lainnya...bisa berbulan-bulan kemudian baru kubaca, atau tidak sama sekali.

Baiklah. Sebenarnya tak perlu kubedakan yang indonesia atau yang luar, sama-sama produk sastra saja. Di dunia yang masing-masing sudah saling kait ini, batasan-batasan macam itu tidak lagi perlu dipakai, kecuali batas bahasa yang benar-benar menghambatku. Kebodohanku dalam bahasa inggris adalah tembok yang sampai sekarang belum juga kutepis. Tapi biar saja, kita ada orang yang mau menerjemahkan karya-karya itu...tentu dengan alasan yang sangat khas dunia kita sekarang, alasan uang. Tak apa, bukan soal besar sekarang.

Dua Belas Pasang Mata mungkin agak cengeng ya, tapi lembut khas penulis perempuan (atau itu sama sekali tiada pengaruhnya?). Novel ini menyentuhku soal waktu, soal betapa singkatnya segala sesuatu akan dan telah kita jalani; hampir segalanya. Sebentar nanti kita tua dan hanya sanggup mengenang. Ataukah, karena novel ini berlatar belakang jepang semasa perang dunia kedua, ketika kekalahan menghapus semua jejak gegap gempita teriakan semangat fasis-nasionalis.

Sementara itu The Cuckoo's Calling adalah sisa perang di London masa kini; sama dekil dan pedihnya, namun muncul dalam dua penulis perempuan yang beda latar budaya sungguh mengakibatkan dua dunia yang benar-benar beda. Tsakae Tsuboi menangkap betul semangat komunal masyarakat jepang, membawanya dalam keramah-tamahan orang-orang bermata sipit yang kadang terasa hening... Ya, hening. Orang jepang sangat suka gosip, sekaligus hening. Aku membaca Dua Belas Pasang Mata bersamaan dengan Botchan (Natsume Soseki). Kedua penulis melekat benar pada masyarakatnya. Lelucon-leluconnya setipe, interaksi orang-orangnya mengutuhkan masyarakat jepang--yang komunal itu. Yeah, kedua penulis membawakan pesan dari masyarakatnya, tak ada pengkhianatan khas penulis "teenlit" indonesia (yang lupa akan budayanya sendiri ketika membangun stereotip manusia. (Maaf...maaf.. :p)

J. K. Rowling, berjarak sekian puluh tahun dan ribuan kilometer dari jepang, menggarap karakter orang inggris dengan setia. Veteran perang afganistan, nista dunia yang entah bagaimana tidak bisa lagi disalahkan. Dia jelas menggarap masa lalunya sebagai orangtua tunggal yang terlunta-lunta, menitipkan pesan semrawutnya londong yang jadi ladang 7 juta manusia. Keuntungan sebagai penulis perempuan adalah memahami diri mereka sendiri, dan itu dimanfaatkan betul Rowling. Perempuan londong, mungkin, yang menjalani kehidupan seksualitasnya berkelindan dengan kepentingan laki-laki menebar benih.

Tokoh utama seolah lahir dari ketidaksengajaan hubungan seksual, meski aku tidak menyakini itu. Anak bintang rock yang bertemu dengan perempuan groupie keren yang tewas dalam overdosis--disuntik secara sengaja oleh suaminya agar mati. Rowling tetap saja penulis yang kokoh dalam menghadirkan ruang, tempat, dan detail-detail artefak. Dan yang tidak boleh lupa, dia menempelkan sebuah film dalam buku; berbunyi, berlogat, beraroma, bergerak, berwarna, terpotong-potongg untuk kemudian muncul lagi. Yah, ini lebih baik daripada film nya kelak (hahahaha).

Baik, dua penulis perempuan dari dua budaya yang berbeda, bahkan masa yang berlainan. Keduanya mungkin cengeng, mungkin juga teguh, kuat. Dalam menampilkan penderitaan, keduanya tidak memberi kesempatan kepada putus asa. Ketika Strike ditinggalkan tunangannya, dia mendapat piala seorang supermodel molek (yah, meski hanya semalam; sementara dengan tunangannya dulu bertahun-tahun lamanya). Macam itulah. Rowling memberi hadiah pada tokoh utamanya, mungkin agar pembaca tidak terlalu nestapa, agar tetap bersemangat untuk sampai pada akhir yang terduga.

Di jepang, pada tahun-tahun perang, feminisme seolah lahir dari kondisi ketika laki-laki hanya bisa menyajikan pertempuran dan kematian. Di london, saat ini, mereka tengah bertarung dengan musuh-musuh baru yang lebih gemerlap dalam tubuh kronis kapitalisme.

-Sent from my blackcoffee-