Sebagai yang pernah jadi penggemar sastra, terutama cerpen dan puisi, saya sedikit merasa sedih dengan semakin hilangnya media yang menampilkan karya-karya anak bangsa. Terutama media cetak. Bagi saya, membaca sajak di media cetak beda rasa dengan menekuri teks di dalam telepon genggam. Entah sekadar rasa, atau memang nuansa yang dibangunnya berbeda.

'Bangkrutnya' sejumlah media cetak yang menjadi pendukung produk budaya ini boleh jadi biang keroknya. Tanpa dana yang kuat, tidak mudah memang mengalokasikan satu rubrik dalam sepekan yang berisi sajak atau cerita pendek. Tapi tidak koran saja, majalah yang sejak dahulu merugi seperti Horison pun sudah tiada. Padahal, bagi seniman muda, apresiasi lewat penampilan di media cetak yang dikurasi dengan benar itu amat berharga.

Bagi saya sendiri, yang pernah mencoba jadi seniman, memiliki harapan bahwa tulisan kita bisa saja ditayangkan di media cetak adalah pembakar semangat. Bahkan ketika bertahun-tahun tak ada tulisan yang lolos. Apalagi, jika sampai tulisan kita lolos seleksi dan nama kita berhasil dicetak. Alhamdulillah sekali saya pernah merasakannya, dan yang terpenting tentu saja wesel yang dikirim.

Karya sastra di koran atau majalah ini sebenarnya amat penting bagi ekosistem sastra secara keseluruhan. Bagi sesama orang yang menggemari sastra, mereka jadi mengerti dan mengenal orang-orang satu Indonesia yang tengah memanjati tangga 'karier' sastra. Bagi penerbit buku, mereka mendapatkan banyak benih bermekaran, dan tinggal menunggu waktu untuk menerbitkan salah satu atau dua dan tiga. Bagi pembaca, ada nuansa yang berbeda.

Tak mudah memindah arena ini ke media digital, walaupun sejumlah pihak sudah berupaya keras melakukannya. Padahal, inilah keniscayaan saat ini.

Saya melihat, persoalan utamanya adalah kritikus, atau editor, atau kurator, atau orang-orang yang jadi penjaga gawang sastra. Memang seleksi selalu melahirkan diskriminasi, menghasilkan penolakan dan kekecewaan. Tapi di situlah para penulis pemula belajar gagal.

Begitu sulit menemukan kritikus sastra yang mau membaca karya-karya jelek dan menolaknya. Itulah dilema media digital. Semua karya sastra, bagaimanapun kualitasnya, lolos tayang di medianya masing-masing. Ya, itu juga demokrasi, suara siapa saja didengungkan, walau tidak ada pendengarnya.

Kritikus atau komentator dalam dunia sastra itu penting, bukti bahwa ada pembaca yang (tampaknya) cukup peduli. Kritikus di sini merujuk pada orang-orang yang serius membacai karya penulis dan memberikan ulasan. Artinya, bukan saja soal bisa bicara, tapi mereka juga dituntut punya ketekunan yang mendalam. Kalau saya sendiri berharap pada para akademisi, mengingat pekerjaan mereka.

Sayangnya, seiring berkurangnya produk sastra di media koran atau majalah, lapangan bagi kritikus juga ikut surut.

Dalam sastra, sebenaranya saya cenderung mengabaikan peran pemangku modal atau uang yang mengalir ke para pihak terkait ini. Walaupun penting, sejatinya minat yang kuat dan 'rumah' yang teduh saja sudah cukup menghidupi. Toh, ya selama ini sastrawan jarang yang jadi kaya. Artinya, dari dahulu jika orang bermimpi jadi satrawan, memang tidak terbersit keinginan juga jadi jutawan.

Pemisahan keduanya sebenarnya sukses membuat dunia sastra kehilangan banyak potensi, karena anak-anak muda belajar realistis. Menulis saja bisa membuatmu disebut penyair dan menjadikan orang lain jatuh cinta, tapi kamu tetap mesti bekerja untuk menghidupi mimpimu itu.

Ini juga yang akan membuat sastra digital kurang menarik, karena sebagian besar tidak menyediakan transfer of capital :p ....