Membayangkan hari ini pada kemarin sungguh sebuah siksaan sekalipun kita memikirkannya dengan tertawa dan bercanda-canda; pengadilan tengik, panas terik, dan beban menjadi wartawan malas yang harus kejar setoran.

Rutinitas membuat hidup sedikit gombong, alias tak berisi. Aku tahu kakiku terlalu malas untuk berdiri di atas bus transjakarta selama sejam lebih, dan mataku lebih bosan memandangi lalu-lintas tak karuan dari kampung melayu ke harmoni. Apalagi mood-ku, ini hidup sekadar memenuhi kebutuhan bulanan; toh ya selama ini tak sepeserpun aku bisa menabung, semuanya tuntas pada bulan selanjutnya.

Perasaan untuk mendapat hidup yang lain, memperoleh kegiatan menyenangkan di bawah matahari dengan rasa semangat, sering muncul di pagi hari. Hidup susah payah di Code namun dengan kesempatan untuk melakukan hal-hal menyenangkan tampaknya menarikku, namun kini bukanlah waktunya menghambur-hamburkan waktu.

Pengadilan bukan tempat angker namun cenderung mengerikan dengan asap rokok para pengacara, untungnya mereka rehat menghisap asap pada bulan puasa, entah di warung-warung di samping plaza gajahmada. Sekalipun begitu, berada di pengadilan sama tak menyenangkannya dengan berdiri di pinggir jalan; berseliweran orang dan tak banyak yang memberimu bahan berita.

Ah, ini sarapan keluhan di bulan puasa, ya? Bisa jadi. Aku hanya ingin muntah-muntah lalu berlari lagi :)

--- bulan puasa (mari menghela napas sebentar) .... Mau apa di bulan puasa? ---

Bulan puasa ketigaku selama di Jakarta. Aku mengungsikan tubuh ke batavia beberapa hari selepas lebaran, sekadar mencari makan; senasib dengan perantau-perantau dari daerah kering lainnya. Dan di kota ini tak jua kujinakkan jiwaku.

Meski begitu, aku boleh dibanggakan, ya, boleh dibanggakan. Boleh. Sebab kini bisa kuberikan lembar demi lembar recehan kepada siapa yang meminta. Ya, boleh bangga, boleh, sekalipun itu menyiratkan kesombongan dan ketinggihatian, tapi bolehlah bangga.

Sebagai anak petani penggarap, tentu aku boleh bangga bahwa bukan cangkul yang kupegang, bukan arit yang kusampirkan, bukan sawah yang kucambangi. Boleh, begitu itu boleh bangga. Mereka menyebutnya mentas, mentas dari kemiskinan manahun keluarga petani. Pertanian selalu saja sebuah jalan untuk bertahan menjadi kreco-kreco miskin di kampung, ya sekalipun ada sedikit yang jadi ndoro dan tuan dan pejabat dan mafia tanah.

Nah, orang model aku ini boleh bangga karena tak lagi memegang cangkul, tak lagi membolak-balik tanah.

Dan bulan puasa begini orang sepertiku sibuk memikirkan pulang dan membawa aroma perayaan di desa-desa. Boleh kami bangga, kami yang menyediakan toples berisi jajanan dan kaleng roti yang tak kosong. Kami yang memperkaya udara desa dengan cerita-cerita dari ibukota, dan menerima cerita gagal panen dan serangan hama dari sebaliknya.

Nah, boleh bangga kalau begitu. Petani penggarap tak bisa menukar semua gabah dengan celana, maka kami bawakan celana dari ibukota. Petani penggarap tak mau menjual padi semuanya untuk ditukar uang receh, maka kami bawakan kertas-kertas pecahan kecil untuk dibagi pada anak-anak yang kelak akan meniru kami.

Nah, ya, bolehlah petani penggarap menikmati kesedihannya, tapi bukan di hari raya nanti, sebab orang-orang dari ibukota siap menukar kesedihan itu dengan beberapa paket tawa.


-Sent from my blackcoffee-