Si orang asing dalam diri kita
: 7 agustus 2011:

Dan siapakah orang asing dalam diriku itu? Apakah yang asing itu?  

Hei, aku datang kepada dini hari. Ah, dengan tubuh yang semangkin ringkih ini, ya kah? Dan masih belum menentukan langkah yang pasti; yeah, tentang masa depan itu. Ah, bullshit itu, kita tidak menghadapi masa depan dengan menyiapkannya… kita hanya si kerdil yang menghadapi segala sesuatu dengan kenekatan hidup.

Lalu Sore, seorang teman menelpon dengan pertanyaan yang mungkin bagiku hanya basa-basi; atau pun jika serius berarti dia tidak mengerti lelucon sarkastis. Ajakan minum kopi di siang hari saat bulan puasa adalah semacam lelucon sarkastis, atau barangkali bisa pula disebut ke-setan-an; sebab memang hanya setan yang mengajak kepada kemungkaran. Ketika setan dibelenggu, maka manusia menggantikan posisi mereka dengan sikap dan sifat setan di dalam dirinya; dan kurasa aku memelihara yang demikian itu.

Dan sedikit banyak itu membuatku berpikir tentang sesuatu; tentang si orang asing dalam diri kita (aku). Dan aku memiliki sesuatu yang mungkin sangat asing; mungkin juga sangat akrab; berkelidan dengan sikap dan sifatku.

Aku senang menyamakan perilakuku dengan kucing jantan, yang hanya bersosialisasi saat makan dan butuh perempuan. Lain itu kerjanya melamun atau tiduran. Hahaha… aku terpancing dengan kata-kata rika tentang kesan temannya padaku; dia sekarang bisa lebih banyak bicara dibanding dahulu. Dan rika bilang, “jakarta telah mengubahmu.” Yeah, mungkin saja. tapi aku masih menyimpan si orang asing yang bertamu sejak dulu, duduk dalam diriku dan selalu menunggu sambutan. Setiap waktu dia bisa muncul, bisa tiba-tiba, bisa dengan basa-basi.

Seperti hari ini, tiba-tiba dia datang dengan sinisme; aku si inferior yang tidak ingin ditaklukkan dengan ceramah motivasi mengenai  optimisme dan obsesi mengenai dunia.


Padahal, kalau kuingat, aku senang sekali membaca buku motivasi kala sma. Buku motivasi perama adalah karangan dale carnegie yang kemudian kuketahu adalah bapak sesuatu, semacam bapak marketing atau apalah begitu. Saat kuliah aku pun masih suka mencari buku semacam itu diperpustakaan, dan tidak banyak di sana; orang-orang akademis tampaknya tidak menyukai buku motivasi; orang perpustakaan adalah manusia serius yang tidak ingin dimotivasi; mereka percaya pada sikap dingin dan serius yang munafik. Orang-orang ini kelak adalah lelucon tentang sistem pendidikan yang menjual gelar pada para calon politikus; mereka tidak benar-benar membaca buku; mereka hanya ingin terkesan intelektuil dan bekerja dengan sistematis, dingin, dan terpandang. Merekalah pembunuh yang paling innocent, pembunuh kreativitas, pembunuh masa depan orang-orang inferior, orang-orang miskin yang berada jauh di bawah sini.

Aku si orang asing yang inferior dan membela kekalahan, aku menemukan kemarahan sebagai sahabat dan menghasut orang-orang untuk putus asa. Aku tidak ingin peduli pada dunia yang tak acuh itu. Dunia hanya sejenis omong kosong milik mereka yang menguasai televisi, menguasai internet, menguasai ruang-ruang, menguasai jalanan dengan klakson dan bau ketek mereka yang telah disulap sewangi bunga-bunga palsu. Wajah mereka plastik, optimismenya oputunistik, dan sikapnya sungguh sok pahlawan bagi dunia dan dirinya; mereka merasa jadi orang baik-baik (dan itulah kesalahan utama mereka).

Si orang asing dalam diriku adalah seorang inferior sejati yang tidak ingin berubah, tidak mau tertawa pada lelucon, dia hanya akan bahagia mendengar orang-orang gagal dan bunuh diri. Sikapnya sungguh tidak pernah layak sebagai seorang manusia; tapi aku percaya padanya. Sungguh, sekalipun kamu sudah berhaji 100x, aku lebih percaya pada orang asing dalam diriku yang bahkan tidak mau mengakui agama itu. Kadang, kupikir aku pembenci segalanya, pembenci kebaikan-kebaikan yang sesungguhnya hanya sejumlah wacana tentang siapa diri mereka. aku tidak ingin peduli pada kalian yang begitu kaya, begitu mewah, dan begitu optimis pada kehidupan dan juga sesuatu setelah hidup berakhir. Kalian hanya sejenis suara riuh yang tak ingin kudengar.

Barangkali sikap masa bodohku itu berasal dari masa lalu; dan toh toh aku juga percaya bahwa segala sesuatu punya sejarah, apalagi sebuah pemikiran. Dan jika pemikiranku bahwa dunia ini hanya sejenis omong kosong orang-orang mengaku baik, tentu aku punya sejarahnya sendiri. Dan percaya atau tidak, aku menyukai diriku yang asing itu.

Hahaha, aku si kucing jantan yang ingin memejamkan mata ketika ada cahaya. Aku ingin kegelapan menyerang dunia. Makanya aku suka memejamkan mata di tempat umum. Aku merasa tidak aman bersama manusia; mereka begitu gemuk dan telah makan dengan sempurna, dengan sisa-sisa yang dibuang ke tempat sampah. Tidakkah lucu ketika melihat televisi orang-orang berdiskusi hal-hal antah berantah tentang KPK, tentang ekonomi, tentang seteguk kebahagiaan dalam iklan? Ah, kalian tidak akan mengerti, kalian terlalu asing bagiku.

Aku ingin masuk ke dalam kegelapan dan mendapatkan ketenangan dan berpikir dan berimajinasi dengan diriku saja; aku tidak sanggup hidup dengan keriuhan, dengan optimisme dan cita-cita. Dan, perlu kutegaskan pada kalian gajiku cukup besar, sangat besar! Aku percaya kalian tidak pernah percaya bahwa gajiku sangat besar dan berlebihan, tapi aku sungguh yakin tak ada yang mengalahkan besaran gajiku. Kalian yang terus saja kekurangan, baik dari kantong ataupun hati kalian, adalah orang-orang asing bagiku. Aku tidak pernah bisa paham dengan jumlah gaji, tidak pernah tahu guna sebuah tunjangan, tak paham kenapa kita mesti bayar jamsostek yang digunakan untuk mencari rente di pasar saham. Aku hanya bisa bilang gajiku cukup besar, sangat besar, sehingga kalaupun aku dipecat aku masih akan sibuk menghitung berapa gajiku yang besar itu.

Ah, ini hanya dunia penuh omong kosong, kalian tidak mengerti ucapan orang asing dalam diriku ini. Aku pembenci! Sekalipun tidak sejak dilahirkan. Aku miskin dan itu membuatku inferior, tapi di satu titik kusadari bahwa tak ada orang yang bisa bangga dengan kekurangannya; sehingga kuputuskan akulah orang yang akan ke sana. aku benci diajak makan bersama saat pertama masuk kuliah sebab aku tahu aku tidak pernah mau melihat berapa tangihan di bon yang memberatkan itu, karena itu aku memilih menjadi kucing yang terlelap di sambil menunggu hari gelap.

Atau, kupikir begini; aku benci banyak hal seperti aku suka banyak hal.

Yeah… hari ini tadi aku banyak berpikir ulang mengenai sikap inferior dan aku menemukan diriku begitu muak dengan optimisme. Kukira ada orang-orang tertentu yang ingin menguasai dunia dengan optimisme, tapi kukira mereka ini pastilah lelucon kalau bukan omong kosong. Kalau kubandingkan berapa jiwa yang lapar dan berapa jiwa yang meneguk anggur, pastilah kalian bisa membandingkan antara berapa yang kalian makan dengan berapa yang kalian buang. Dan jiwa-jiwa yang asing, jiwa-jiwa inferior, aku masih bersetia padamu; pada semaam kepercayaan bahwa hidup mungkin hanya lelucon di antara kalian saja, bukan milikku.

Kadang kupikir aku berdiri di tepian yang salah; merasa kalah adalah salah. Tapi kurasa aku salah; kalah adalah sesuatu yang patut kurayakan karena tidak banyak manusia yang sanggup melakukannya; hanya orang dengan jiwa-jiwa inferior sejati yang sanggup mengerti. Orang-orang ini mungkin saja sadimasokis pada jiwanya; mereka mungkin tampak menderita dan sengsara dan menyeret-nyeret keluhannya, tapi aku percaya hanya merekalah yang sebetulnya memahami dirinya sendiri. Namun, kita semua tahu, terlalu banyak orang yang merasa baik, terlalu banyak pencuri yang menyumbang ke masjid, terlalu banyak kawanan yang meneriakkan nasionalisme, terlalu banyak gerombolan yang menyuarakan untuk membantu kaum dhuafa. Mereka semua adalah kesalahan…tapi mereka percaya pada takdir paling konyol yang kujumpai dalam kenyataan: “Kebaiakan pasti mengalahkan kejahatan.” Mereka pastilah bercanda kalau tidak gila!

Ah, semakin ke sini kalian tampak semakin asing dengan diriku. Kalian yang hanya senyawa karbon dan akan kembali sebagai hal-hal kecil terlalu congak untuk tidak menyalahakanku. Kalian pasti berisi sebuah kata yang absurd; “kebaikan.”

Tulisan ini bukan prosa, bukan sajak mbeling yang terselip di antara lembaran buku, bukan pula kisah yang ingin mendengarkan pembacanya; ini hanya sebuah jiwa inferior; si orang asing dalam diriku yang sejak lama berteriak-teriak seperti waktu; bahwa kita tak bisa meninggalkan jiwa jahat kita bertarung sendiri mengalahkan kebaikan absurd yang telah menipu. Kita mesti turun tangan untuk mengatakan apa yang dirasakan si orang asing dalam diri kita.

Ah…kuambil jeda sebentar. Kubalik ke kenyataanku sejenak. (Aku tidak pernah ingin membuat kalian paham apa yang aku tulis, bagian-bagian ini tetap jadi rahasiaku, dan kutuangkan secawan empedu ini untuk diriku sendiri).