oleh : Toto Suparto
Ingin cepat kaya? silakan belajar dari 40 orang terkaya di Indonesia tahun 2010 (versi Forbes Indonesia) yang dirilis awal bulan Desember ini. Apa yang bisa dipelajari dari mereka? Ternyata, setelah direnungkan mendalam, mereka bisa tercatat sebagai orang terkaya lantaran memegang kuat karakter “egoisme etis”. Apa dasar berkesimpulan macam itu? Apa pula “egoisme etis” tersebut?

Ada baiknya kita kenal dulu istilah “egoisme etis”. Etikus James Rachels (2003) mengemukakan egoisme etis mengajarkan seseorang untuk mengejar kepentingannya sendiri secara eksklusif. Seseorang tidak mempunyai kewajiban moral selain untuk menjalankan apa yang paling baik bagi kita sendiri. Jadi, menurut egoisme etis, seseorang tidak memunyai kewajiban alami terhadap orang lain.

Ditegaskan Rachels, egoisme etis merupakan pendangan radikal. Betapa tidak, karena sangat gamblang dikemukakan bahwa satu-satunya tugas seseorang adalah membela kepentingannya. Keradikalan itu juga terbaca pada pernyataan “ada satu prinsip perilaku yang utama, yakni prinsip kepentingan diri, dan prinsip ini merangkum semua tugas dan kewajiban alami seseorang”.

Meski mementingkan diri sendiri, bukan berarti egoisme etis menafikan tindakan menolong. Mereka yang egoisme etis tetap saja menolong orang lain, asal kepentingan diri itu bertautan dengan kepentingan orang lain. Atau menolong yang lain merupakan tindakan efektif untuk menciptrakan keuntungan bagi diri sendiri. Menolong di sini adalah tindakan berpengharapan, bukan tindakan yang ikhlas tanpa berharap pamrih tertentu.

Dalam dimensi filsafat moral, egoisme etis ini berseberangan dengan altruisme yang mementingkan orang banyak. Altruisme ini senantiasa memikirkan dampaknya bagi orang lain ketika ia memilih suatu tindakan. Bahkan terkesan ekstrem, “Hidupku untuk orang banyak”.

Sekarang, bagaimana mengaitkan egoisme etis ini pada 40 orang terkaya itu? Tentu perlu mengurai 40 orang terkaya versi Forbes Indonesia itu terlebih dahulu. Dari penguraian itu bakal tampak bahwa kekayaan mereka ditopang oleh sumberdaya alam. Mereka kaya karena berbisnis pada komoditas batu bara, kelapa sawit dan industri rokok. Sekurangnya 16 orang terkaya dalam daftar itu menuai untung dari batu bara dan kelapa sawit.

R.Budi dan Michael Hartono, misalnya, memiliki kekayaan US$ 11 miliar dan menempati perigkat pertama. Kekayaan ini diperoleh dari antara lain kelapa sawit dan industri rokok (Djarum). Angka kekayaan ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan total kekayaan 40 orangterkaya sebanyak US$ 71 miliar.

Lalu di peringkat kedua ada Susilo Wonowidjojo, 54, dengan penghasilan US$ 8 miliar. SUsilo ini pemimpin pabrik rokok Gudang Garam milik keluarganya. Selain dari pabrik rokok, penghasilannya juga bersumber dari perusahaan minyak kelapa sawit.

Dari contoh dua konglomerat ini saja, sesungguhnya sudah bisa melihat karakter egoisme etis pada mereka. Yang mana? Jikalau mereka altruisme, bisa dipastikan tak akan berbisnis rokok. Orang-orang altruisme akan berpikir rokok merupakan komoditas yang “mematikan” banyak orang, maka harus dicegah utnuk memperbanyak alat pembunuh itu. Sebaliknya, egoisme etis mengabaikan rokok yang disepadankan dengan alat pembunuh. Egoisme etis harus meneguhkan hati, “Ini cuma bisnis, jadi harus diabaikan dampak-dampak yang ditimbulkan. Salah sendiri orang lain mau membeli rokok sang pembunuh ini”.

Altruisme penghambat bisnis.

Untuk mengurangi rasa bersalah egoisme etis tersebut, maka dipilihlah jalan menolong orang lain. Tetapi, lagi-lagi menolong disini (sebagaimana dikemukakan sebelumnya) adalah menolong berpengharapan. Industri rokok “menolong” kemajuan olahraga dengan menggelontorkan dana sebanyak-banyaknya, namun berpengharapan para penggila olahraga ini (pemain atau penonton) menjadi perokok aktif maupun pasif. Jelas, menolong yang dilakukan adalah berdasarkan keterpautan kepentingan diri sendiri.

Begitupun dalam perkebunan sawit, pada mulanya berbenturan dengan altruisme. Misalnya begini, “Kalau saya harus membabat hutan untuk diganti kebun sawit, apakah tidak akan mengganggu kepentingan orang banyak? Apakah banjir tidak mengancam? Daripada saya harus menyusahkan orang lain, lebih baik saya pilih bisnis lainnya.” Sebaliknya, egoisme etis mengajarkan kepada seseorang utnyk boleh mengkonversi hutan itu sepanjang sudah menggenggam izin konversi (malah ada juga yang menyalahgunakan izin itu). Soal banjir atau kerusakan lingkungan, itu urusan belakangan!

Dalam pandangan ekonomi murni, altruisme jelas menghambat. Jika berpikir macam itu, maka tak akan memulai sebuah bisnis. Dihadapkan pada pilihan dilematis macam itu, seseorang dituntut untuk memilih tegas. Mau altruisme, atau pilih egosime etis? Atau mau ditengah-tengahnya? Hidup memang memilih. Segala aspek kehidupan dihadang pilihan-pilihan rumit.

Oleh karena itu, jika memang pilihannya ingin menumpuk kekayaan, silakan ikuti egoisme etis macam itu. Siapa tahu dengan kemantapan egoisme etis membuat seseorang akan menerobos masuk dalam daftar orang terkaya. Sebaliknya, kalau sekadar bisa berbisnis dengan tetap memperhatikan kepentingan orang banyak, maka pilihan jatuh di tengah-tengah, bukan egoisme etis tetapi juga tidak mengumbar altruisme.

Inilah salah satu pelajaran dari orang-orang terkaya di negeri ini. Selain belajar dari mereka, ada baiknya kita mendengarkan nasihat bijak para orang tua, “Segala tindakan diri sebaiknya diukur dengan nurani”.
Kontan, 20/12