kadang terasa aneh bahwa manusia terlalu percaya pada hal-hal yang tidak nyata; hanya untuk sekadar mengakui kelemahannya, padahal yang dianggap lebih mumpuni dari dirinya hanya imajinasi. kemarin, ketika banjir lahar dingin melanda code dan melumatkan sekian rumah, kami diterpa kekhawatiran mengenai kondisi perpustakaan di museum romomangun. banyak orang-orang yang khawartir dan mengatakan hanya bisa berdoa, sedangkan aku dan beberapa teman percaya bahwa doa bukan hal nyata, apalagi di jakarta. di sini doa tidak diperlukan karena hanya menganggu otak saja.

bagiku, doa itu suatu khayal jika ditempatkan sebagai semacam harapan pada tuhan. juga, doa kini bermakna profan, sekadar pelarian atas ketidakmampuan. dalam konteks itu, aku tidak lagi percaya doa. bagiku, seluruh doaku sudah bersama terciptanya diriku. bagiku, tubuh dan pikiran dan seluruh kemampuan manusia itulah doa yang telah dinyatakan. doa dipenuhi menjadi alat yang nyata, tangan, pikiran, lidah, telinga, dan segala sesuatu. karena itu, doa2 telah selesai, telah dipenuhi, tinggal kita mau atau tidak mengusahakan pencapaian-pencapaian.

ketika berdoa agar bisa mencapai puncak sebuah gunung, kita sudah memiliki segala sesuatu untuk mencapainya, maka tidak ada alasan untuk menyalahkan yang disebut tuhan. kita tinggal melangkahkan kaki ke atas puncak gunung. kaki jauh lebih tinggi daripada sekadar puncak gunung, maka, sebetulnya yang diberikan pada manusia jauh lebih besar daripada doa-doa mereka.