Aku baru bisa membaca setelah kelas 3 sd, bahkan masih terbata-bata. Menurutku (di kemudian hari) itu terlambat sekali. Tapi, di kalimantan, bisa membaca pada umur sekian itu sudah cukup cepat, mengingat kondisi mengenaskan sekolah di sana.

Aku lebih cepat dalam berhitung. Ketika masih tk, aku sudah menulis empat kali lipat lebih banyak daripada anak-anak yang lain. Sayangnya, hanya hal macam itu yang bisa kubanggakan dari 'kecerdasan' masa kecilku. Waktu itu aku memang sudah merasa cerdas. Tapi, setelah pindah ke jawa, aku seperti siput yang baru keluar dari tempurungnya. Di sini, bahkan anak-anak tk pun bisa membaca dan berhitung 10 kali lipat dibanding aku waktu itu.

waktu kecil aku lebih suka didongengi daripada mencoba membaca. Membaca itu perlu perjuangan menyatukan kata-kata tak berhubungan menjadi bunyi-bunyi, yang seringkali tidak sesuai. Aku juga tidak begitu mengerti bahasa indonesia. Ibu dan ayah lebih sering mendongengi dengan bahasa jawa. Bahkan aku juga tidak begitu paham bahasa tersebut, karena berbeda dengan bahasa tutur kami sehari-hari.

Tapi, terlambat membaca tidak membuat seseorang lebih sedikit membaca, pada akhirnya. Meskipun, aku sadar kapasitas otakku tidak sebaik milik mereka yang asupan nutrisinya baik sejak dalam kandungan. Aku sudah harus makan pisang pada usia seminggu. Dan ketika kecil, satu-satunya protein hewani yang sering mampir adalah ikan asin, yang dibuat cukup asin agar sedikit saja bisa untuk lauk satu piring. Sekalipun terkesan mengenaskan, kukira masa kecil seorang anak itu sangat menyenangkan. Namun, tidak semua anak-anak senang dengan masa kecilnya. Mereka hanya tertolong oleh sifat kanak-kanak yang ceria.

Membaca kadang membuatku terbangun dari sesuatu, namun lebih sering membuatku tertidur ... karena itu aku suka membawa buku ke tempat tidur, hanya agar cepat terlelap.

Dulu aku menikmati proses membaca itu sebagai suatu bentuk kenikmatan. waktu aku di jawa, aku tinggal di tempat pakdhe ku. ia memiliki sebuah kandang ayam yang besar. ada puluhan ayam di sana. ada bebera ekor angsa galak, kalkun besar, ayam kate lucu, dan beberapa ayam kampung urakan. aku mendapat jatah memberi makan dan mengganti minuman. aku sering ketakutan berhadapan dengan angsa yang galak dan kalkun yang kasar, mereka berdua mencumbuku dengan patukan kasar dan menyakitkan; sehingga, sebetulnya aku lebih suka kalau melihat mereka berdua menjadi sajian di meja makan. di kandang itu ada sebuah gudang kecil penuh dengan peralatan aus dan barang-barang rongsokan. ada kotak penetasan telus yang sudah tak berpintu, ada aneka kandang burung, ada beberapa wadah minum ayam yang sudah rusak, ada juga kardus-kardus berisi buku. maka, aku suka sekali mengaduk-aduk seluruh barang bekas tersebut sebagai mainan. maklumlah, di jawa aku belum begitu akrab dengan orang-orang. aku bahkan semi takut dengan pakdeku yang pendiam itu.

maka, aku sering melewatkan waktu di kandang ayam, di bagian gudang yang kadang dihiasi berbagai bentuk tahi ayam. tapi, karena kebiasaan, aku merasa biasa saja dengan semua kotoran itu. aku mendapatkan sebuah novel tebal di sana. bagiku, itulah novel pertama yang kubaca. novel itu sudah tak bersampul. jilidnya menggunakan benang. dan ejaannya kuno; tj=c, dj=j, j=y. tapi, bahasanya jernih. aku tidak tahu judulnya sebab buku itu hanya berawal dari bab 1 sampai "tamat", bagian judul dan daftar isi sudah raib. aku membacanya beberapa kali, hingga sedikit hapal alur ceritanya. aku ingat, salah satu tokoh yang diggambarkan di awal bab 1 adalah jantje vervoot (atau verveet atau apalah ejaanya, pokoknya mirip-mirip itu). dalam perjalanan hidupku, aku sebetulnya masih penasaran dengan judul buku dan pengarangnya, tapi tidak pernah kutemukan jawaban.

buku itu berkisah soal kepanduan (pramuka) di belanda. mengenai petualangan sekelompok pandu dalam iringan sejarah perang dunia kedua. bagian serunya adalah ketika mereka membantu inggris melawan pasukan jerman yang menguasai belanda.

aku masih menyimpan buku itu dan berharap mengentahui judul dan penulisnya.