tiap sabtu dan minggu aku berkumis. aku juga berhenti minum kopi demi sebuah lambung yang selalu terasa sakit kalau makan. sebagai gantinya, aku membuka sekaleng bir dingin dan membaca buku ditemani semut merah. tv kunyalakan keras-keras agar tidak merasa sendiri. meski rasanya jadi jauh lebih sepi. sabtu minggu aku juga mencoba makan lebih banyak buah yang mengakibatkan mencret di senin pagi. sabtu-minggu, aku makan telur lebih banyak dari biasanya.

hari itu aku mencobai lebih banyak kenyataan daripada di hari kerja. minggu sore yang cerah, dan aku selalu menyukai sore yang cerah dan sedikit panas atau hangat, aku berjalan-jalan. dari jatinegara ke gramedia matraman. tak banyak orang suka jalan kaki di jakarta, kecuali di pasar dan orang-orang miskin (karena tidak punya kendaraan). jadinya, trotoar lebih nyaman untuk jalan kaki. kuharap tetap begitu, tak banyak orang jalan kaki.

sabtu minggu aku selalu berpikir tentang pergi ke taman dan membaca buku. tapi, satu-satunya taman yang bagus ada di senopati. lumayan jauh, tapi aku akan selalu memikirkannya pada sabtu dan minggu. aku ingin duduk selonjoran dan melihat-lihat apakah ada semut yang merambati kakiku.

sabtu-minggu menjadi sesuatu yang berharga ketika aku bisa berjarak dengan kursi+internet. sekalipun, aku juga tidak pernah jatuh cinta dengan dunia maya. hari sabtu aku berlari-lari dalam sepetak lapangan artifisial, dengan rumput buatan, tapi bersama orang-orang yang nyata dan kelelahan yang kubawa sampai hari senin.

sabtu minggu membuatku lebih sadar, kurasa. tapi itu hanya klaim, tidak ada bukti valid bahwa aku sadar akan sesuatu yang disebut sabtu-minggu.

di dua hari itu aku meragukan kemampuanku beradaptasi dengan hidup normal. kenapa? karena aku merasa sukses di hari itu. padahal, kesuksesan lebih sering dipadankan dengan kekayaan. mana ada orang miskin disebut sukses? padahal, aku pikir, sukses itu justru lepas dari pemikiran tentang uang. 

sabtu-minggu, saat aku tidak perlu cukur kumis dan menghabiskan bir bersama semut.