Di beberapa bagian dunia yang tidak terlihat, namun mendominasi kehidupan, ada orang-orang yang mendapat label dari kalangan umum, dan seringkali tidak ada penolakan, sekalipun tidak bisa diartikan adanya penerimaan. Label "penjahat" diterima masyarakat begitu saja, seolah itu pemikiran murni dari moral kita. Seolah, penjahat itu jenis yang memang diciptakan tuhan untuk menganggu kita, dan seolah kita percaya bahwa penjahat itu selalu sebagai calon pasti penghuni neraka.
Moral masyarakat sendiri sesungguhnya sangat meragukan. Sesungguhnya mereka menggunakan moral hanya demi sebuah kemudahan dan demi melindungi diri. Karena itu, moral berubah seiring perubahan masyarakat, seiring perubahan harapan mereka. Moral seringkali dinilai abstrak untuk diperdebatkan, padahal akibat-akibat dari kepercayaan pada moral itu sangat nyata.
Dan, lebel penjahat adalah bagian dari moral kita, bagian dari cara kita menghukum orang tanpa sebuah pengadilan. Kita tidak pernah mau memikirkan siapa saja yang akhirnya hancur karena hal itu. Bagi moral kita, label itu bagian dari hukuman. Bagi kenyataan, label itu adalah doa agar mereka menjadi penjahat sepanjang hidup, agar mereka tetap dalam tempat yang gelap dan kita tidak perlu melihatnya berkeliaran di dunia "biasa" kita.
Pikiran itu mengingatkanku pada Oki. Ketika P menjadi penjahat dari sebuah peristiwa di 2005, maka lima anak kecil menjadi anak-anak dari seorang penjahat. Salah satunya oki kecil. Sekalipun dia bukan bagian dari sebuah kejahatan, Oki, angga, lia, novi, dan ida seringkali menerima hukuman dari seluruh masyarakat. Mereka selalu disebut sebagai anak si P yang bla- bla bla ....
Oki adalah anak "penjahat," hanya karena ayahnya melakukan sebuah kejahatan. Sebetulnya ini belum kusadari ketika aku di Jogoyudan. Sekalipun selalu kudengar ejekan-ejekan pada anak-anak kecil yang baru lulus TK itu. Aku mungkin juga tidak pernah memperkirakan bahwa itu bagian dari kejahatan masyarakat yang mengira dirinya baik. Aku pun tidak tahu kalau pada satu titik, Oki akhirnya menjadi liar dan melarikan diri dari masyarakat itu.
Selama aku di sana Oki memang selalu mencoba melarikan diri, pergi melanglang ke jalanan, dan mencoba menikmati liarnya kehidupan. Tapi aku belum menilainya sebagai akibat dari sikap masyarakat sendiri yang menghukumnya sebagai anak seorang penjahat.
Masyarakat hampir tidak peduli mengenai keberadaannya, bahkan cenderung menghindarinya sebagai manifestasi tak sadar akan moralitas mereka. Pilihannya ke jalan adalah sebuah pilihan sulit. tapi, di tengah masyarakat yang telah menghukumnya seumur hidup sebagai anak P, seorang penjahat yang dihukum lima tahun, kukira itu pilihan paling waras dari seorang anak 8 tahun. Kahadirannya sering menjadi bahan lelucon dan cemooh, bukan karena masyarakat memaksudkannya demikian, tapi karena mereka tidak sadar akan tindakannya melabeli anak kecil ini lewat label pada bapaknya.
Kukira masyarakat sudah menerima label penjahat untuk pelaku kejahatan. Media massa telah meneguhkannya dalam berita-berita di koran kuning (yang sayangnya menjadi referensi utama masyarakat, bahkan oleh kalangan terdidik yang mempunyai gelar berlebih). Ini mungkin lebih buruk daripada label inlander yang orang balanda berikan pada pribumi. Sebab, penjahat tidak hanya hadir dalam masyarakat kita, tapi juga jamak di seluruh dunia, dan masih terus berlangsung hingga sekarang. Orang akan dengan senang menggunakan label penjahat untuk menunjukkan pada para penjahat bahwa mereka memiliki kesalahan fatal dalam berperilaku di masyarakat. Padahal, itu hanya soal diketahui atau tidak diketahuinya sebuah kejahatan. Banyak kejahatan yang tersembunyi dan pelakunya tidak disebut penjahat hanya karena tidak diketahui umum, atau karena pelakunya orang besar, atau mereka yang punya harta, atau mereka yang punya kekuasaan. Mengapa soeharto tidak kita sebut penjahat, padahal pelaku eksibisionis di tepi jalan kita cap sebagai penjahat kelamin?