(note: karena mulai malas menulis di sini, aku copy paste dr t4 lain. semoga jelek!)
Sewaktu air di kantor bermasalah dan kawan2 tidak bisa wudhu untuk sholat, seorang teman mengusulkan untuk sholat di mesjid. Namun, dari seberang meja ada yang sontak mengomentari, ”Sholat ke Mesjid? Jauh-jauh Amat.”
ini bukan soal sholat di mesjid atau di mushola kantor, tapi soal jarak. aneh sekali orang-orang ini, mesjid kan tak seberapa jauh, bahkan dindingnya nempel dengan dinding pagar kantor. hanya, memang perlu turun ke bawah. bagi saya, kata spontan “Jauh-jauh amat!” itu menunjukkan semacam kemalasan akut yang tidak disadari orang kota ini. kalau bisa dekat, kenapa harus jauh-jauh.
jarak satu kilometer, bagi orang kota, perlu ditempuh dengan kendaraan. kalau tak ada motor, ya mobil, atau angkot, atau ojeg juga banyak. toh, mereka punya duit. tapi, bagi saya itu jelas hal yang aneh. kenyamanan adalah racun yang seringkali tidak disadari. atau mungkin, ada perbedaan dalam menikmati jarak. orang telah menemukan kendaraan untuk memperkecil jarak.

kemajuan memang menawarkan kemudahan, dan itulah yang tampaknya diinginkan manusia. dan kemajuan itu ada di kota-kota, maka kemudahan itu ada di kepala orang-orang kota. bayangkan tentang orang di kampung, di gunung kidul atau di pelosok sulawesi. mereka akan bilang dekat untuk suatu jarak yang bagi orang kota sangat jauh. kepala orang-orang kota memang berbeda, dan saya agak sulit memahaminya. ada yang mengatakan jarak antara jakarta dengan tangerang itu tak seberapa, tapi ketika mau shalat di masjid saja menyebutnya jauh dan lebih memilih mushola yang dekat. singapura kini dekat, tapi rumah pak lurah itu jauh (karena ditempuh dengan jalan kaki).

kalau ingat jarak, saya sering terngiang ramalan joyoboyo, bahwa dunia akan semakin “mengkeret” atau mengecil. jarak tidak lagi “menghalangi.” teknologi telah menghapus “batas” ruang. sekalipun dalam pemaknaan yang barangkali semu. jarak telah diatasi oleh kecepatan. namun kadang dangkal. ini terlihat dalam masyarakat jakarta yang telah modern. ketika konsep kecepatan menjadi penting, terutama dalam pekerjaan-pekerjaan, namun yang terlihat adalah sosok terburu-buru.

di jakarta juga jarang orang-orang yang menikmati jalan kaki. jalan kaki hanya berlaku bagi mereka yang tidak memiliki kendaraan. jalan kaki hanya untuk mereka yang tahan dengan polusi dan panas matahari. padahal, secara alami, manusia adalah mahluk yang berjalan kaki, untuk membedakan dengan monyet yang bergelantungan di pohon. jalan kaki telah diganti dengan alat2 fitnes. bagi saya, jalan kaki bukanlah olah raga. jalan kaki bagian dari hidup, dan tidak pernah bisa digantikan alat hanya agar kaki bergerak. jalan kaki adalah mengukur bumi.

ketika orang menemukan bahwa jalan kaki bisa mengurangi risiko diabetes sampai 50%, kita tahu bahwa telah ada jarak dengan jalan kaki.