pada 2007, aku dan choki pergi ke ngargomulyo, dukun, magelang. kami berencana melakukan survei di desa tersebut, kira-kira satu minggu. berbekal surat dan uang jalan, kami menuju desa yang tertera di kertas itu. kami belum tahu dimana akan menginap. para peneliti di jurusan teknik sipil menugaskan kami untuk mengisi puluhan form isian dari warga ngargomulyo, desa terakhir dari puncak merapi di sisi magelang.

sebelum ke sana kami harus ke kantor camat sukun, meminta tanda tangan dan cap untuk ijin penelitian. untung choki adalah orang magelang yang sedikit tahu daerah itu, meskipun belum pernah ke ngargomulyo. desa itu terpencil, dengan akses jalan yang sudah lumayan, namun penuh risiko. menurut informasi, daerah tersebut sangat rawan jika malam hari karena sering terjadi penggarongan/perampokan terhadap kendaraan yang lewat. tambah lagi jalan-jalan itu tanpa penerangan.

kami tiba di sana siang hari. dan harus menunggu pak lur yang ternyata sedang ada di kecamatan sukun. pak lur ternyata seorang polisi. namanya pak Tomat .... , lengkapnya entah apa.

setelah pak lur datang, kami dicarikan rumah warga untuk menginap, sekalipun kami belum memberitahu sebelumnya. maka, dapatlah satu keluarga yang biasa menerima tamu dari luar. aku lupa nama pria kepala keluarga itu, aku pun lupa nama istrinya dan anaknya. aku hanya ingat, pria itu punya seorang ibu yang mereka panggil Biyung. perempuan tua ini sudah bungkuk dan wajahnya kaya dengan kerut.

pria itu sangat baik dan mau mengantar kami ke beberapa tempat, bahkan mencarikan narasumber yang tepat untuk kami wawancarai. aku juga diajari melinting tembakau gunung dan menghisapnya. tidak enak.

desa itu merupakan desa terakhir dari puncak, jaraknya sekitar 5-7 km dari puncak merapi. terdiri atas beberapa dusun. ada yang berdekatan, ada yang berjauhan. mayoritas warganya katolik. mereka pergi ke gereja dengan mengenakan sarung dan peci. ketika misa, anak-anak mengalungkan sarung seperti anak-anak yang mau mengaji, hanya saja mereka membawa injil.

kami juga diajak ke suatu syukuran, kalau tak salah, paskah. di sana, orang membaca dengan bahasa jawa kuno (kukira, karena aku tidak banyak mengerti bahasanya). suasananya mirip kenduri, dengan nasi tumpeng yang ditaruh di atas daun, dengan ingkung ayam dan telur, lalu kluban dan lain-lain. pulangnnya kami membawa nasi dalam pincuk masing-masing. beberapa hari setelah itu kami juga diundang kenduri ke tempat salah satu warga yang akan mendirikan rumah. jalanan sangat gelap karena lampu hanya dinyalakan dalam rumah, itupun redup. kenduri oleh muslim jauh lebih sepi. hanya dihadiri beberapa orang. kami baca doa, lalu makan, dan pulangnya dibekali nasi lagi...

selama hampir seminggu kami melakukan survei dan wawancara. orang-orang di dusun yang paling atas kelihatnnya tampak ramah. tiap kali kami lewat, mereka selalu berteriak, "mampir, mas!" padahal baru sekali itu mereka lihat kami. namun, ketika kami benar-benar mampir (dengan niat melakukan wawancara) mereka malah coba menghindar dan menolak diwawancarai, demi dilihatnya kertas dan pulpen yang kami bawa.

sebagian mereka masih buta huruf dan tidak tahu banyak mengenai dunia luar. hanya ada radio national ukuran post card dan tumpukan aneka macam benda di rumah mereka. banyak dari mereka tidak memiliki ladang, hanya jadi buruh tani.

sedangkan di dusun lain, kami menemukan orang-orang yang berbeda. pria yang paham betul pertanian organik, tahu cara memasarkan sayur-sayur berkualitas, dan mengerti mitigasi bencana. ia juga telah memajang foto anaknya yang mengenakan toga. rumahnya paling dekat dengan salah satu sungai, kukira sungai bebeng atau mungkin blongkeng. sungai itu besar... tapi hanya menyerupai situs belaka. airnya sudah tak ada. terakhir, sungai itu dilalui lahar tahun 1990-an. setelah itu, arah aliran lahar tak pernah lagi lewat sana.
cekdam. ke bawah adalah sungai code
area penambangan. sebelum riset di desa, kami mensurvei sungai-sungai yang berpangkal di merapi
kami sempat naik ke atas, ke area penambangan, tapi ternyata sudah ditutup sejak beberapa tahun. sudah tak ada lagi warga yang menambang pasir, padahal menambang pasir adalah jenis pekerjaan yang lebih praktis dan jelas hasilnya. tinggal mengumpulkan pasir lalu menaikkan ke atas truk. rupanya warga sudah sadar akan dampak ekologis dari penambangan pasir.

rata-rata penduduk juga memiliki hewan ternak dan data jumlah ternak tercatat dengan rapi di tangan Kadus. namun, sulit sekali menemukan hewan ternak di sekitar dusun. hewan-hewan itu dikandang di kebun atau sawah yang jauh dari rumah. dalam satu desa, ada hampir seribu hewan ternak (kukira, kalau tak salah ingat).