Asalnya selalu tidak jelas bagi siapapun. Tubuhnya yang hitam agak menakutkan, tetapi ia punya senyum menawan. An selalu ada di saat kamu kemalingan. Dialah pencurinya.
“Hidup seudah selesai,” begitu  suatu kali ia mengatakan di sela-sela hisapan rokok. “Aku menyelesaikan lebih banyak daripada siapapun, dan mencuri adalah jalan keluar dari dunia yang jelek ini,” ia meneruskan. Aku terkesiap. Bagaimanapun kehidupan tak pernah diselesaikan seorang pencuri. Aku ingin bertanya bagaimana ia memahami apa yang dilakukannya, tetapi urung.

“Kamu tidak jujur, itulah orang biasa.” Matanya melirik. Jari-jarinya akan memainkan pisau lipat kecil jika tidak memegang rokok.
“Aku memang sering tidak jujur, An. Tetapi tetap ada bagian yang jujur dalam hidupku.”
“Kebohongan, itu bagian yang jujur. Sudahlah, kau belum mengerti mengapa aku mencuri untuk hidup dan bukan bekerja ‘baik-baik’, bukan?” ya, ia benar.
Hari ini segera berakhir. Ia tidur di kamar sebelah dan aku masih ingin membaca beberapa buku. Dua bukuku telah ia curi juga, mungkin berakhir di loakan, mungkin di tempat yang lebih baik. Tetapi aku sudah membacanya. Ia jarang mencuri dariku, hanya memang pernah, dan aku tidak menggubris.
“Kamu lapar?” suara An. Tidak selalu demikian, tetapi aku biasa lapar.
“Sudah, kamu tidak pernah mau jujur soal perutmu yang kedengaran buruk itu. Ambil uang di bawah meja, aku titip rokok saja, yang lainnya untukmu.”
Aku selalu berpikir bahwa dunia baik dan keberuntungan berpihak padaku. Selalu. Bahwa ada hal-hal di luar kendali keberuntungan, itu selalu, tetapi aku percaya bahwa kadang bersamanyalah aku merasa lebih baik. Perasaan lebih baik yang gamang. Aku selalu menahan diriku untuk tidak mencuri atau mengelabui orang, tetapi aku makan dari apa yang orang itu lakukan. Percayalah, aku juga tidak begitu kenal An selain dari yang kulihat beberapa tahun bersamanya.
Aku tidak pernah menasehatinya, tetapi ia membaca apa yang orang umum katakan tentang perbuatannya. Mencuri adalah pekerjaan yang menghidupinya.
“Kamu tidak pernah tahu apa yang baik dari dunia,” katanya setelah pulang kuliah lama sebelum hari ini, “hingga kau mencurinya.” Tetapi sejak setahun belakangan ia enggan meneruskan kuliah, memilih menulis beberapa cerita dan membaginya untuk koran minggu. Tetapi ia tidak makan dari honor itu, selain karena sangat jarang dimuat, ia mempunyai banyak hutang. Lebih banyak yang tidak ia kembalikan.
Aku sendiri selalu merasa sibuk untuk dapat mencari kerja, sehingga lebih banyak tergantung pada pencuri itu. Di kampung ini ia dikenal baik dengan keahliannya. Belum sekalipun tertangkap basah, tetapi sepertinya orang selalu tahu sebelum sesuatunya benar-benar terbukti. Tetapi kami berdua diterima orang kampung, setidaknya dalam beberapa tahun ini.
Jujur, aku tidak selalu tahu apa dan bagaimana ia mencuri. Aku enggan bertanya, tetapi ia selalu bersedia berbagi, terutama ketika kami membicarakan masalah-masalah orang umum, membicara tetangga, atau sesama teman pencurinya. Untuk mengatakan ia berlebihan dalam memahami konsepnya sendiri tentang apa yang dijalaninya, kurasa aku tidak berhak menembus sampai ke situ.
“Rokokmu! Kamu dibicarakan orang di angkringan, tempat pak rt kehilangan hp. Kamu, ya?” ia keluar dari kamarnya dengan wajah tersenyum yang merasakan sebuah kepuasan.
“Bagaimana? Tidak selalu menyenangkan jadi bahan pembicaraan bukan. Tentunya kamu yang merasa tidak enak di sana. Ya, jangan pikir aku kesepian jika tidak diomongkan orang.”
“Aku tidak menuduhmu. Tidak hingga hari ini. Tidak pernah kan? Bahkan ketika bukuku hilang. Tidak juga dengan sepatu. Aku hanya merasa ganjil. Kadang, yang kupikirkan hanyalah soal kenapa, bukan soal betapa buruknya hidup di antara semua ini.” Aku tidak ingin menyerangnya.
Ia menyalakan korek, jam dinding memperdengarkan sejenis kewaspadaan.
“Hidup sudah berakhir, bagiku. Apa yang akan dituntut agama, moral, negara… atau apa itu universitas, hah?” beberapa hari lalu aku memutuskan akan pindah, tidak lagi tinggal bersamanya. Akulah yang selalu sakit hati selama ini, tetapi ia tetap seorang yang paling mengerti keadaanku. Mungkin kos satu tahun dapat kubayar setengahnya saja, setelah itu minggat lagi.
Aku ingat matanya ketika ia tahu aku akan pindah, sesuatu yang sangat mengejek. Dan dalam lubang hitam itu, sebuah jebakan telah menahan kakiku.
“Bukan masalah itu, aku hanya ingin menyelesaikan skripsi dan lepas darinya. Kau tahu artinya mencari uang yang hanya dihabiskan untuk kuliah anaknya? Bapakku sudah jemu dengan hayalannya sendiri tentang sekolah tinggi.” Aku seperti menatap kehilangan, apa yang hilang dari matanya kali ini. Aku tidak pernah bermaksud mencuri sesuatu darinya, kecuali jika ia memang merasakan desakan semacam itu.
Dalam batas yang wajar, memenuhi kebutuhan dengan mengelabui dunia masih dapat kuterima, tetapi bertahan hidup dengan ketrampilannya itu sungguh bukan hal menyenangkan, bahkan untuk direnungkan. Akhir-akhir ini aku mulai mempelajari lagi agama, yang terbengkalai, mungkin. Yang terutama untuk menggembalikan kepercayaan diriku tentang apa yang akan kupilih, sesuatu yang beralasan sekaligus berpijak pada kebenaran yang lebih besar, yang lebih tidak kufahami. Kupikir tidak salah agama lahir sebagai sebuah moral. Setidaknya tidak buruk untuk menjadi sebuah standar hidup, dibandingkan dengan tetek bengek standar hidup milik pbb. Dan itulah yang membuatku berpikir untuk mulai menghakimi apa yang dilakukan An. Dunia sudah dirampok, katanya dulu, dan mengapa kita tidak boleh mencurinya sedikit untuk memperpanjang napas bau kita?
Matanya merayapi dinding, “ Aku bohong jika mengatakan aku orang yang jujur, bohong jika aku orang yang masih peduli pada sesama, bohong jika aku ini punya empati pada orang miskin itu, tapi setidaknya aku tidak mencuri dari mereka. Apa gunanya kamu membaca buku agama seperti itu? Hah? Untuk membuatmu lebih menyesal terhadap dunia yang buruk.?”
“Benar.”
“Untuk seorang pendusta, agama itu baik.”
“Artinya aku tapat bukan mempelajarinya? Karena aku ingin lebih baik.” Ia berderai-derai dalam tawa seperti seorang anak mendapat apa yang diinginkannya selama bertahun-tahun sebelum kemudian orang tuanya membelikan benda tersebut saat ulang tahun.
“Bagus, kau tahu caranya jujur. Sejak di luar sana ada orang kaya berkeliaran di antara orang miskin, sejak itu aku menjadi pencuri. Bukan karena aku berhak, karena aku tidak pernah berhenti menghakimi diriku sendiri. Besok kau bisa pindah dengan tenang, tanpa seorang pencuri lagi di sisimu. Tapi aku tidak pernah merasa jadi pencuri.”
Aku ingin mengatakan banyak, tatapi hanya dapat tersenyum. Senyum yang selalu pahit.
“Aku senang ada agama di dunia, bahkan aku percaya betul terhadap kebenaran moralitasnya, rumusan teologinya. Tetapi sulit untuk seperti para penceramah di tempat ibadah yang bisa makan enak sementara di tempat lain ada yang kelaparan. Mereka pendusta, dan aku senang tetap seorang pencuri. Daripada menjadi sebuah institusi yang mencuri atas nama kebenaran, aku lebih nyaman di dekatmu dengan omongan-omongan orang di luar itu. Ingatlah, sebelum kamu tidak bersamaku, kamu juga sudah mencuri dengan meneruskan kuliah seperti itu.”
Ia benar.
“Bahkan lebih buruk daripada tinggal dengan seorang pencuri yang mengakui dirinya pencuri, bukan? Mereka adalah perampok-perampok yang menyedihkan, karena selalu tidak sadar apa yang dilakukan. Mereka hanya segerombolan penyamun yang merasa menyelamatkan sebuah generasi dengan membunuh generasi yang lain. Teruskan. Teruskan kuliahmu. Raihlah cita-citamua, mungkin bapakmu lebih baik daripada seribu profesor di gedung semacam itu, karena punya anak sepertimu”
Ia sudah akan tidur ketika aku ingin menangis. Ia tidak akan memelukku lagi, tidak untuk seterusnya, jika memang segalanya mungkin bagiku untuk melepas ikatan-ikatan yang mulai meregang ini. Segera akan jadi kenangan pelukan-pelukan di malam sehabis kelelahan pikiran.
Jogoyudan, 2007.
Ini adalah kehidupan yang tidak pernah jujur.