kutuliskan kenangan masa kecilku, mumpung aku masih menyukai kenangan.
waktu kecil, aku tinggal di desa rantau buda, kec sei durian, tidak jauh dari perbatasan kalimantan selatan dan kalimantan timur. tak ada listrik. tak ada jalan beraspal. tak ada angkutan umum, bahkan tak ada yang memiliki mobil. anak-anak suka dengan mobil. mereka akan mengejar-ngejar mobil yang masuk ke kampung itu, seolah melihat binatang aneh. kalau mobil itu berhenti, anak-anak akan mencoba menyentuhnya. aku suka menyentuh rodanya dan membuat huruf di kaca yang penuh debu.
selalu banyak bukit-bukit begini. kami sering melihat ada kincir angin sederhana di puncak-puncak bukit itu. entah, sebagai tanda penunjuk angin ataukah tanda telah ditaklukkannya bukit itu oleh orang dayak. mereka naik ke sana tanpa alat-alat aneka macam.
kalau musim kemarau, daerah itu sangat kering. tidak ada sumur dan sungai yang selamat dari kekeringan. rumput-rumput menguning dan anak-anak mulai jarang mandi, apalagi orang tua. ayahku biasanya sudah mempersiapkan air untuk musim kemarau dengan menyediakan beberapa drum di belakang rumah. air itu dari hujan. warnanya sangat jernih dan hanya digunakan untuk masak dan air minum. kalau air itu habis, kami akan mencari air di KM 10. letaknya sangat jauh, terutama bagi anak kecil seperti aku. kadang hanya ayah saja yang mencari air ke sana, kadang kami sekeluarga.

di KM 10 itu ada sebuah sungai yang tidak pernah kering airnya. sungainya lebar, arusnya deras, warnya sangat jernih, bentuknya berkelok-kelok, di tepinya bukit-bukit karang putih menjulang tinggi dan dikeroyoki berbagai tanaman. di seberang sungai itu biasanya kami lihat kera ekor panjang bergelayutan. kadang mereka turun ke sungai untuk minum. kadang kami bertemu orang kampung, orang dayak, yang hanya mengenakan cawat dari kain dan membawa mandau. mereka selalu membawa mandau ke manapun pergi. tapi tidak ada yang perlu ditakutkan dari mandau itu. kadang kami bertegur sapa dengan bahasa indonesia. mereka biasanya berbahasa dayak, sedangkan kami berbahasa jawa. entah dayak apa.

selain mandau, orang-orang itu sering terlihat membawa anjing. sering tidak hanya seekor. mereka sepertinya selalu siap untuk berburu binatang di hutan. kadang kulihat mereka memanggul babi hutan kecil. hutan-hutan di sana masih dihuni binatang liar seperti babi, kancil, kijang, dan kadang payau atau rusa besar. beberapa orang di desa kadang juga melakukan perburuan. pernah satu kali, seorang warga desa berburu ke hutan dengan beberapa ekor anjing. entah kenapa, orang itu tidak pulang selama beberapa hari. padahal, anjing-anjingnya sudah pulang. warga desa tran itu tentu heboh. sudah hampir seminggu pria itu menghilang ke hutan. beberapa orang sudah mencarinya, tapi tidak ditemukan. lalu, warga desa melakukan selamatan atau berdoa bersama-sama. setelah itu, mereka masuk hutan dengan membawa macam barang seperti tampah dan aneka barang rumah tangga lain. benda-benda itu di taruh di titik-titik tertentu, agar pria yang hilang itu mengerti jalan pulang ketika menemukan benda2 itu. kupikir ini seperti dalam dongeng, hans dan gretel kalo tak salah, dimana mereka membuang remah2 roti untuk menandai jalan pulang.

namun, usaha itu sia-sia. baru setelah beberapa hari kemudian, setelah warga desa putus asa dan pasrah, pria itu muncul di desa. lalu, beredarlah cerita-cerita tentang pengalamannya bertemu lelembut. katanya, dia diajak memasuki suatu negeri dan dijamu makan di sana. katanya hanya sebentar, tapi nyatanya dia hilang beberapa hari.

di desa itu juga ada sebuah sekolah, sd rantau buda I. aku sekolah di situ. sebelumnya juga ada sebuah tk, namun hanya berusia beberapa tahun. aku ingat, di tk itu aku membaca sebuah sajak di depan pak camat. aku habis sakit waktu itu dan tidak ingat bagaimana mengahapal sebuah sajak hanya dalam sehari, lengkap dengan gaya deklamasi dan gerak tangan. aku masih ingat bagaimana tanganku menunjuk ke atas ketika mengatakan "tuhan."

di tk itu juga aku pernah didorong seorang anak ketika pertama kali masuk sekolah. aku masih ingat, dia mustaqim. beberapa kali dia pernah menelponku, ketika kami sudah sama-sama dewasa dan aku tidak lagi mengingat bagaimana rupa wajahnya.

selepas tk itu, aku masuk sd (ya tentu saja, mana ada yang langsung sma). sekolah tertinggi di sana adalah sd. ada smp, tapi letaknya di kecamatan, jaraknya sangat jauh dan tidak angkutan umum ke sana. di sd itu aku pernah menjadi siswa teladan. sewaktu penganugerahan siswa teladan, beberapa siswa yang masuk kategori tersebut dipanggil ke depan. mereka semua juara di kalasnya masing-masing. karena aku kelas 3, jadi dipanggil agak paling akhir. agaknya, anak kelas 1 dan 2 belum berhak atas predikat tersebut. anak-anak yang dipanggil itu semuanya tampak rapi, meskipun ada satu dua yang tidak mengenakan sepatu, hanya memakai sandal jepit. waktu aku dipanggil ke depan, aku tidak pede. aku tidak memakai sepatu karena memang tak memiliki sepatu. sepatu terakhirku adalah yang pas di tk itu, itupun telah digunting oleh ibu karena menurutnya bagian atas terlalu tinggi. sepatu itu juga kupakai bergantian dengan adikku. nah, hari itu aku pun tak memakai sandal karena musim hujan. semua jalan becek. maka, jadilah kaki berlumur lumpur dan tidak sempat mencucinya.

aku satu-satunya anak yang berkaki dekil dengan hiasan lumpur. meskipun ditertawai satu sekolahan, aku tetap tersenyum, karena mendapat segepok buku tulis. tentu saja, buku tulis adalah barang mahal di sana.
di sekolah itu, aku baru bisa membaca ketika kelas 3. yah, sekalipun begitu, dari tk aku sudah jadi juara kelas, hehehehe. waktu itu pun membaca dengan terbata-bata, dan itu rupanya sudah yang terbaik di kelas. aku lebih lancar mengerjakan matematika kecuali soal pembagian. waktu tk, aku sudah bisa menulis sampai angka 30 saat teman-temanku baru diajarkan sampai angka 10. tapi, waktu sd aku juga sudah mulai belajar menyontek, meskipun hal tersebut kuanggap sebagai hal biasa, tidak melanggar hukum sekolah, juga tidak mengandung unsur dosa.