sd rantau buda 1 didominasi orang jawa (sunda dan madura masuk kategori jawa), anak-anak para transmigran. orang lokal yang sekolah ke sana hanya sedikit. aku tidak pernah tahu mereka itu orang dayak apa. kami menyebut mereka orang kampung. rumah mereka jauh dari desa kami, 5-10 kilometer. jadi, tiap pagi anak-anak orang dayak itu harus berjalan kaki sejauh itu untuk sampai ke sekolah. kebanyakan hanya memakai sandal jepit, tapi toh itu masih lebih baik daripada kami yang lebih sering tidak pakai alas kaki alias nyeker.

di sekolah itu ada dua shift, pagi dan siang. murid2 kelas 1, 2, 5, dan 6 mulai masuk pagi. murid2 kelas 3 dan 4 masuk sekitar jam 10. hal itu karena keterbatasan ruang dan jumlah guru.


kami mulai masuk jam delapan pagi. berbeda dengan di jawa, yang masuk jam tujuh. mungkin karena jam 8 di sana sama dengan jam 7 di jawa, meski posisi matahari jelas sudah naik cukup tinggi. sekolah itu berbetuk rumah panggung, sesuatu yang jarang kutemui di jawa. semua komponen bangunanya dari kayu, bahkan atapnya (berupa sirap, atau genting dari jenis kayu tertentu yang mudah dibelah menjadi seperti lebaran-lembaran).

di kelas tiga, aku duduk satu meja dengan perempuan dayak. lupa siapa namanya. tubuhnya bongsor, tinggiku hanya seketek dia. tapi, pada kelas lima, perempuan itu menikah. perempuan dayak itu tipikal, dengan kulit putih, mata sipit dan gigi rusak. aku tidak tahu mengapa banyak dari mereka mengalami masalah dengan gigi, padahal mereka tidak suka mengisap permen waktu kecil. mungkin disebabkan kondisi air. orang jawa sendiri kebanyakan minum air hujan, sebab air sumur selalu berwarna coklat.

aku selalu ingin ke pamukan, melihat laut, tapi belum pernah kulakukan.
di kelas tiga kami kedatangan murid baru dari banjarmasin. perempuan itu hitam manis. bagiku dia sangat manis dan aku jatuh cinta padanya. tapi aku harus bersaing dengan dua teman akrabku, dan salah satunya lebih ganteng daripada aku. yah, sekalipun dia kelihatan lebih pendek daripada aku. dia juga lebih hebat dalam soal permesuman. di kelas empat, temanku pernah mencret di dalam kelas. dan, aku duduk di sampingnya. sangat menjijikkan karena di sepanjang jalan pulang tercecer kotorannya.

di kelas lima aku diajar pak ramelan, orang banjar yang suka mengajarkan lagu "ampar-ampar pisang." juga diceritakan mengenai asal usul sungai barito. aku juga mulai disuruh menulis ke depan kelas. karena papannya sangat tinggi, atau aku saja yang pendek, maka aku mesti menggunakan kursi untuk menulis. tulisanku jelek dan sulit dibaca. ini adalah kelas terakhirku di kalimantan.

pada suatu kamis pagi yang gerimis, aku diantar ibu pergi ke jawa. dua tahun sebelumnya aku juga ke jawa, mengantar kakakku yang melanjutkan sekolah di solo. dulu, rencananya aku akan pindah ke jawa setelah lulus sd, tapi ternyata keputusannya berubah. ayah dan ibu selalu bercerita tentang pakdhe yang pintar bahasa inggris dan aku disuruhnya sekolah yang tinggi agar bisa seperti mereka. aku tidak mengenal pakdhe2ku.

tujuan selanjutnya setelah rantau buda
pagi itu kami serombongan dengan orang-orang yang hendak ke jawa dan juga guru2 yang akan mudik ke banjarmasin maupun ke kotabaru. kami naik sebuah colt. colt satu2nya yang berangkat ke banjarmasin. jalanan di sana belum diaspal, menjadikannya seperti kubangan lumpur manakala hujan.

bersambung...