aku membayangkan ke sana dan menengok sebuah tembok bata merah dimana sebuah kalimat dari kurt cobain pernah kutuliskan, "I hate myself and want to die."



yang kuingat, dan masih kuingat meski sesuatu telah menghapus kenyataan, bahwa tulisan dengan spidol hitam itu tertulis di atas bata merah pada tembok masjid. tulisan itu sebenarnya tidak menggambarkan apapun, selain sebagai grafiti kecil pengingat.

kata-kata itu tidak lebih bermakna daripada kalimat kutipan lainnya dalam rangka menunjukkan betapa aku menyukai siapa penulis aslinya, tanpa memahami konteks ia menuliskannya atau kegunaanya di masa ketika aku menuliskannya. semua absurd. kukira aku juga terjebak dalam ketidaksadaran tentang kebanggaan semu akan seorang tokoh. kalimat itu sendiri tidak menyertakan nama kurt cobain, tapi orang seperti Penceng yang suka mabuk pun tahu siapa kurt cobain.
kalimat itulah yang kucari ketika pulang ke jogja kemarin. aku membayang suatu sambutan yang indah dari benda-benda masa lalu dalam hidupku, meski jarak waktunya baru dalam hitungan bulan. pada kenyataannya, kalimat itu telah hilang tertindih cat putih dan mural-mural yang lebih baru. aku tak kecewa. dan ini mewakili seluruh perubahan code yang kutemui.
kesimpulan sederhana, yang mungkin terburu-buru, adalah bahwa kesejahteraan memiliki daya penghancur yang luar biasa.

-sehari sebelumnya,jkt-

aku merasakan satu kesepian yang nyata, yang bukan hanya pikiran. semua orang telah pergi. aku tinggal sendiri di dua lantai yang besar. aku mencoba menyalakan radio yang bernyanyi dengan gembira, tapi ia tak pernah benar-benar menemaniku. meski aku sering kali mencari kesunyian, ternyata "ditinggal" memiliki efek yang berbeda dengan kesunyian. rasanya menyiksa. sebuah kesepian yang membuatku semakin merindukan pulang.
tanggal sembilan september sore, aku berlari di bawah hujan deras. tak ada ojek payung yang menghampiriku waktu turun dari angkot di Senen. sedang hujan sedang seru-serunya. di Senen tidak kulihat ada kehangatan atau semacam penghiburan atas kesepianku yang kubawa serta dari rumah dua lantai itu. aku mencoba menikmati orang-orang, tapi tetap saja mereka memberi jarak layaknya orang asing.
kereta senja utama yang kutumpangi terlambat beberapa menit. aku duduk bersama seorang anak perempuan yang malu. aku juga tak berminat berbicara. aku bahkan tidak menawarinya membaca komik-komik yang kebetulan kubawa. aku mencuri sekitar enam belas komik tokoh-tokoh terkenal, semuanya baru dan masih terbungkus plastik. ini saja yang bisa kubawakan pada code.
kereta itu berjalan terlalu lambat untukku. bahkan harus berhenti sejam karena menabrak sebuah mobil di suatu tempat yang tak kukenali. kereta berhenti tepat di sebuah jembatan. aku melihat sungai besar dalam kegelapan, tapi tak menangkap suara air. ketika kereta tiba di stasiun tugu, seorang teman sudah menanti di sana. pukul setengah enam. baru sekali ini aku menginjak stasiun tugu, di dalamnya, dari sebuah kereta bisnis. biasanya aku di stasiun lempuyangan, stasiun untuk kelas ekonomi, kelas desak-desakan dan berebutan tempat duduk. hah... jogja, pasar kembang!
aku memasuki code tanpa merasakan sesuatu. aku baru bisa menyakinkan diri bahwa aku di jogja ketika shalat ied di lapangan kridosono, bekas lapangan balap kuda dari jaman belanda. aku ingat caranya datang ke sini tiap tahun. cara mengantarkan bocah-bocah yang membawa kotak infak dan mengatur mereka agar pulang bersama-sama. hmmm, lapangan itu terasa berbeda.
setelah shalat, biasanya di code diadakan hala-bihalal untuk semua warga muslim di masjid kelimosodo. biasanya aku yang menyetel lagu-lagu islami untuk memanggil warga, sekarang bukan. makin sulit menggerakkan orang-orang ini ke masjid.
to be continued