Ketika melihat tayangan oprah winfrey show kemarin, tayangan mengenai komunitas yang membatasi dirinya dari dunia amerika pada umumnya, saya diberitahu bahwa manusia-manusia bebas ternyata dipenjara dalam pikiran mengenai kenormalan. Kita secara sempit telah berpikir untuk selalu menyudutkan dan kalau perlu menghapus keanehan yang dipilih kelompok minoritas dengan mengatasnamakan hukum, HAM, dan kemanusiaan. Saya kira ini terjadi di banyak belahan bumi. Orang-orang indonesia melakukan hal yang sama, mungkin jauh lebih kejam, terhadap etnis tionghoa, atau pada komunitas-komunitas lain yang lebih kecil. Pada tataran ini kita mengatasnamakan hal-hal baik berusaha menghapus orang-orang tertentu dari muka bumi, sekalipun dengan cara yang paling kasar. Orang-orang umum dan normal itu juga diwakili oleh oprah sendiri, yang kelihatannya tidak bisa menerima “ketidaknormalan” berdasarkan batas yang diciptakan oleh komunitas amerika yang katanya menghargai kebebasan.

Namun, ada sesuatu yang lebih menarik daripada itu. Saya kira, pikiran manusia telah bekerja dengan cara membatasi dirinya; membuat sekat-sekat hanya agar merasa dipahami bahwa pilihannya normal. Kita tidaklah dipisahkan secara lebih nyata dibandingkan oleh pemikiran kita sendiri. Tapi, pikiran juga memberi kesempatan untuk menyambung semuanya, hanya saja kita jarang mengunakannya. Seperti yang terjadi pada berton-ton sampah elektronik yang diekspor amerika dan dibuang ke sebuah wilayah di cina dan membunuh manusia secara perlahan lewat kanker dan berbagai penyakit pernapasan. Apakah bill gates tidak lebih bersalah daripada eksportir sampah? Dan apakah kita sendiri tidak menjadi mata rantai dari pembantaian terselubung itu, karena kita merengek-rengek minta inovasi?

Kenormalan, itulah yang menutup mata dan intelektualitas. Saya kira, hati setiap orang bisa melihatnya, namun mereka terkurung di dalam tubuh yang normal dan hanya menjadi benda tambahan di tubuh kita. Saya juga pernah terjebak dalam kenormalan, bahkan saat dunia menganggapnya tidak normal. Jebakan ini saya kira dialami oleh meraka yang mengalami kekerasan secara rutin, yang terpapar sampah kimiawi setiap hari, mereka yang miskin ‘abadi’. Ketika saya tidak bisa mengatasi kekerasan pada anak di sekitar saya, saya melarikan diri pada pikiran bahwa apa yang mereka lakukan itu sebagai hal biasa, dan memaklumi batas kemampuan diri sendiri untuk menolong. Padahal batas itu saya ciptakan sendiri, sama seperti setiap orang yang menyerah pada hidup padahal dia belum mati

Bahkan, ketika orang seperti saya yang lulus dan bertransformasi menjadi manusia kantoran. Ketika itu saya berpikir bahwa langkah saya hanya akan terbatas pada upaya mengejar kesejahteraan pribadi dan waktunya mementaskan diri sendiri dari kemiskinan. Padahal, saya tidak cukup miskin untuk menyebut diri saya miskin. Saya hanya sering hidup tanpa uang, dan itu sama sekali bukan kriteria miskin. Kriteria itu juga hanya batas yang diciptakan untuk menyekat penilaian. Kadang pikiran hanya bekerja dengan kriteria, dengan batas, dengan mengakui ketidakmampuannya untuk melampaui, dan itu semua sama sekali tidak menyiksa. Tapi, yang kadang-kadang itu menjadi terlalu sering dan itulah yang dianggap normal. Hanya karena sering, hanya karena berulang, hanya karena banyak yang melakukan, kita menyebutnya normal.