“Hai, orang-orang yang kurang berpengalaman, berapa lama kamu akan terus mengasihi keadaanmu itu, dan hai, pengejek-pengejek, berapa lama kamu akan menginginkan ejekan semata-mata, dan hai, orang-orang bebal, berapa lama kamu akan terus membenci pengetahuan?” Amsal 1:22

Di ujung malam, aku memilah-milah lagi koran bekas menjadi tumpukan yang lebih rapi di satu sisi dan potongan-potongan artikel di sisi yang lain. Membereskan segala debu kenangan, membersihkan masa lalu dari prasangka, seperti menghitung jumlah kesalahan yang tidak pernah kita ingat. Di sini, kamar yang pengap dan kotak, ada sudut-sudut yang menyembunyikan kekeliruanku dari kejaran para coro dan cicak; ada begitu banyak senyum yang menipu, ada tawa yang dibuat-buat, ada tangis yang kelewat sepi ditumpuki koran-koran lama ini. Hah, kenangan apa yang kuperoleh di sini, hai laki-laki miskin yang seperti debu? Kau menyelinap seperti pencuri, tinggal mendengkur seperti tikus tua yang menunggu jadi bangkai, menatap jejak-jejak tanpa tahu ke mana yang lama ke mana yang baru. Dinding-dinding triplek ini memberimu batas dari ruang kesengsaraan dengan jalan melarikan diri, peringatan pada malam yang sakit dan udara yang jenuh akan riak air sungai. Akankah kau meratapi hal-hal menyedihkan, hai orang bodoh? Tinggallah di sana, di lubang kamar tempat manusia sepertimu terkapar dan kalah.


Aku akan pergi, mungkin lama mungkin selamanya, meninggalkan kamar yang menyembunyikanku dari matahari. Tahun-tahun yang meletihkan. Tataplah masa lalumu sehingga kau membanjir dalam pelukan hangat air mata. Dengarkan apa yang bisa kau suarakan dalam hening pribadi, sentuhlah tiap kejahatan yang pernah kau rencana dan lakukan, nikmatilah pahit kemiskinanmu seperti gula-gula waktu. Aku menemukan uraian yang menjadi relief di dinding kamar tentang rentang yang telah menggembirankan perasaanku sebagai manusia, sebagai orang kulit coklat yang memendam marah dan menyemaikan gelisah; dinding-dinding triplek jadi gambar laki-laki sakit.


Tengah kubayangkan siapa diriku, di sini, di luar sana, di sungai itu, di dalam kepala yang sakit. Meretas dari sebuah jasad kepada laki-laki busuk. Inilah diriku? Berkaca pada apakah manusia kalau ia kelewat sombong? Dua puluh enam tahun lalu ia lahir tanpa tanda-tanda mengenai warisan kemiskinan yang akan diperolehnya dari jaman ini, di atas ambin yang sudah hilang dari kenyataan. Pada bulan kering yang dingin, kegelapan tengah mengawalnya ke dunia dengan tangisan yang ditertawakan orang-orang yang sama sekali tidak mengerti akan penderitaannya di masa depan. Ada hal yang perlu dibawa ke kehidupan oleh setiap kelahiran, perasaan larut dalam harapan untuk jadi penerang kecil dalam keluarga. Mereka yang terlalu berharap akan jatuh terlalu keras. Untunglah, keluargaku adalah bagian dari jutaan orang miskin di indonesia yang tidak memiliki mimpi untuk menguasai dunia. Tapi, entah mengapa, rasanya kemiskinan tengah menguasai denyut nadi kehidupan. Di sana aku berawal, tidak menjadi bagian deru, hanya sanggup menangis. Pada tahun-tahun yang mengantarku ke sini, terdapat tahun yang baik dan lebih baik, dan akan ada yang terbaik; itulah cara kita berharap, mengempiskan dunia menjadi hanya jadi sebidang ladang yang akan ditanami padi pada musim hujan. Waktu aku umur setahun dan pindah ke pinggir hutan di Kalimantan, dunia mungkin sedang menari-nari karena harapan akan kekeyaan sedang digapainya menjadi lautan luas yang menenggelamkan jutaan orang miskin dan melayarkan beberapa orang kaya ke pulau-pulau harta karun. Tidak ada pengorbanan yang mengecewakan, bahkan kalaupun dibalas dengan kekalahan. Hanya ada kegetiran yang dicangkul dengan harapan, dan tiap musim kering aku berulang tahun, tiap umur mengorbankan waktu tanpa perlu merasa dikecewakan oleh hilangnya masa kanak-kanak dari kenyataan sempit kita.