Hujan deras menghadangku di bawah tenda angkringan. Pukul enam sore baru akan datang beberapa menit lagi. Tampaknya tidak akan banyak berarti mengingat waktu.

Suara deras telah datang dari semua penjuru dan tidak mungkin aku tidak merasakan udara dingin seperti ini. Musim ini sebenarnya romantis, begitu pikirku terlintas saat melihat perempuan dengan sepeda angin tepat di sorot mobil-mobil dari empat penjuru. Warna merah yang berganti hijau serasi dengan, “Teh anget mas!”. Romantisnya dunia ketiga.

Seorang perempuan duduk di depanku, matanya menyelidik makanan, lalu beralih ke mataku. Orang tua seperti dia rasanya akan kedinginginan hanya dengan teh hangat saja. Kurasa aku tidak curiga, tetapi kemiskinannya menampakkan gelagat yang tidak mengenakkan. Antara memilih segelas teh untuk menunggu hujan berhenti, atau membuat dirinya kehabisan uang. “Teh e eneh!” Kata laki-laki di samping perempuan itu. Seharusnya aku tidak berpikir tentang usia perempuan ini, tapi kurasa ia telah meninggalkan umurnya yang keempat puluh.

Aku, perempuan tua, lelaki botak, pedagang angkringan, lelaki di sebrang jalan.... mungkin semuanya terkurung kenangan. Tidak banyak bicara.

Laki-laki botak itu tidak memperhatikanku. Aku masih ingat orang ini. Di kota seperti ini seringkali kita menjumpai orang yang sama, yang menarik, yang sering hadir saat kita ingin merenung di tempat ramai, dan rasanya kita akrab dengan wajah semacam itu. Tapi bukan kebetulan jika aku ingat. Dalam diam kami di angkringan, dengan seorang penjual yang menyibukkan diri dengan air hujan berlimpah, aku tidak mengenal laki-laki itu. Walau sebenarnya, kami pernah tetanggaan. Tetapi apalah arti tetanggaan di kota, meskipun itu yogyakarta? Hanya kadang saja kita merasa sangat akrab dengan orang-orang yang kita lewati, tanpa tahu apapun tentang mereka.

Di sebrang jalan, lagi-lagi aku mengenal laki-laki buta itu sebagai tetangga juga. Berjarak sepuluh meter, tidak akan ada yang lolos dari ingatan macam ini, pengemis buta yang mengenakan topi itu itu juga. Ada perempuan dengan payung menuntunnya, agak tergesa, tanda ia sangat jarang menuntun orang buta, mungkin ini sekalinya ia menuntun si buta. Perlakuan yang tidak perlu semacam itu, kadang membuatku merasa bugar. Lelaki buta itu memilih berhenti, ditinggalkan perempuan yang terus berlari di bawah hujan.

Seperti mengingat lelaki botak di depanku. Mengingat bahwa, “Iki opo, pak?”. “Sing ora karetan, teri.”, kami sebenarnya bisa saling bicara tentang pernah menjadi tetangga. Tentang masa lalu yang membuat aku dan dia akrab di masa kini. Tapi wajah kami adalah wajah yang saling sendiri. Aku benar-benar tidak mengenal bekas tetanggaku ini.

Kecurigaanku terhadap merananya perempuan di samping laki-laki botak agak selesai saat ia memilih satu gorengan di antara puluhan yang disediakan. Tapi sebuah vespa jelek menarikku ke pembayangan aneh. Orang yang sangat memerlukan barang jelek seperti itu, jika bukan seorang idealis tentulah miskin jelata. Catnya yang merah tidak halus, seperti dikerjakan sangat amatiran dengan kuas lebar, seperti seseorang yang terbiasa mengecat dinding. Jok depannya tinggal per dan besi. Pasti tidak enak terjepit di sana. Plat nomornya seperti benar-benar menjadi satu dengan bagian belakang, hanya karena perbedaan warna yang membuatnya terlihat. Kupikir, dia memiliki vespa itu.

Laki-laki botak membuka payungnya yang sangat lebar, menurutku, untuk menangkal air yang masuk dibawa angin. Ia selalu membawa payung itu ke manapun pergi, musim kemarau sekalipun. Sepertinya aku ingat bagaimana caranya naik ke sepeda ontanya itu. Juga cat merah kosnya dulu, lampion merah di dalamnya, dan seorang perempuan yang mengunjungi. Itu dua tahun lalu, mungkin masih sama. Sama seperti botaknya.

Laki-laki di sebrang jalan, seperti sedang bicara dengan penjual mie keliling. Terlalu sekilas untuk menangkap gerak mulutnya. Agak luar biasa, ia merendahkan topinya, seperti hendak menutupi matanya yang tidak berguna itu. Hujan makin deras, ia terlihat sebagai pengemis ringkih yang ingin istirahat. Terkadang ia ditarik istrinya, berjalan sejauh dua kilo lebih ke tempat mangkal di depan mirota kampus. Istrinya yang coklat tua itu kadang minta-minta juga. Sayang, kami jarang saling sapa jika di luar lingkungan kampung. Aku merasa menghilangkan posisinya sebagai pengemis ketika menegur di depan Mirota, seperti tidak menghargai seorang pengemis yang hanya ingin duduk dan menadah, tidak ingin terus dikenal sebagai tetangga. “Ta’ gowo rono yo!” “Yo!”. Dia pasti tidak ingin pulang.

Juga pengemis di sana, menikmati suara hujan bersama-sama dengan semua orang. Bicara seperlunya.Tapi laki-laki botak itu ingin menyendiri, membawa teh, mengisap rokok, mengeluarkan radio kecil yang kabelnya menjulur ke telinga, dan sendiri. Di kosnya dulu, mungkin sekarang juga masih di sana, ia sering sendiri. Pulang larut malam, suara sepeda dimasukkan, suara guyuran air, dan deheman yang amat sekilas. Jarang sekali aku mendapati pintu rumahnya terbuka, dulu. Sekalinya terbuka ada tabir merah, lampion merah dan warna-warna cina bersama huruf-hurufnya yang indah. Ia sendiri, tapi tidak tersengat kesendiriannya.

“Teh jahe, mas!” laki-laki lain masuk, pikiranku ke luar, melewati jalan. Laki-laki buta masih tetanggaku dua bulan lalu. Bahkan sayup, aku ingat bagaimana isrinya marah-marah karena sesuatu yang berkaitan dengan gelas di rumahnya. Rumah yang terbagi dua petak, dua keluarga, satu orang buta. Tiap kali lewat jembatan kewek, antara kotabaru dan jogoyudan, selalu terbersit keinginan melihat ke dalam gelapnya rumah itu. Laki-laki itu akan meludah ke luar, agak hati-hati, dan meninggalkan bekas di jalan yang biasa kulewati. Ia biasa meraba-raba untuk ke luar, tanpa tongkat, kencing ke arah sungai atau menyikat gigi. Istrinya yang mengantar jika buang tai, karena harus turun satu dua meter dari atas talud. Tapi, “Sopo sing jogo kono?”, apakah sebenarnya mereka suami-istri, tidak jelas bagiku.

“Nduwur petengan po?” “Iyo.” Laki-laki yang datang belakangan tampaknya kenal dengan penjual di angkringan ini. “Berarti yo mulih kabeh.”

Celanaku semakin terasa dingin. Meski pikiranku sedikit khawatir dengan jumlah yang yang akan kubayar, perempuan di depanku seperti mengawasi sesuatu dari tiga lelaki di angkringan, yang membuatku selalu ingat jumlah gorengan yang kumakan. “Mas, tambah teh anget.” Kurasa aku memerlukan suasana hangat, meski hanya cairan kecoklatan.

Orang buta. Tetanggaku yang lain juga buta, tapi memilih menambang pasir di sungai Code. Tiap malam masih suka mabuk. Butanyapun karena kebanyakan lapen. Lapen mungkin sedikit lebih enak dari cola, entahlah, aku hanya pernah merasakan dua teguk saja.

Orang buta yang suka minum lapen itu suka sekali mengalungkan radio “National” di lehernya. Pada jam sepuluh ia pulang dari tempatnya minum. Sambil mulutnya berdakwah tentang butanya, tentang hasrat manusia untuk dimanusiakan. Mungkin dia menuntut penghargaan ketika orang di pinggir jalan hanya hadir ketika menggodanya. Ia bisa marah. Dan orang akan semakin asyik menggodanya. Jika bahasa kromonya semakin tinggi, semakin marah saja dia. Mengingatnya, seperti mengingat kebutaan kebanyakan manusia pada umumnya.
Lelaki buta di sebrang jalan duduk di bawah payung. Hujan menentukan ke mana aku berpikir. Air yang jatuh seperti menari-nari. Tarian yang indah mungkin hanya hal-hal monoton yang terus terulang.

Hujan ini jelas bukan yang kemarin mengantarkan mayat tetanggaku. Heh, tidak terlalu perlu memikirkan ia yang sudah mati. Tapi semua orang bisa mengingatnya sebagai kenangan. Aku tidak ikut mengantar, hanya mendengar suara tangis menggores, dan semuanya selesai. Peristiwa besar hanya dalam pikiranku sendiri, atau pikiran orang-orang lain dan rasanya aku tidak cukup merasakan pengalaman seperti itu.

Genangan air hujan di jalan akan membuat sepatuku basah. Aku memerlukan sepatu satu-satunya ini untuk naik besok. Lalu tuhan mengirim ide padaku lewat dua orang yang lewat, satu diantaranya tidak memakai alas kaki. Aku bukan pendaki, tetapi rasanya menyenangkan tiap kamis, selama bulan ini, pergi ke sungai-sungai di merapi untuk menemui penambang pasir. Dan sepatu ini sangat berarti. Ada bekas durian di situ, yang kanan, kenang-kenangan untuk hari pertama yang menyenangkan bersama orang Jepang.

Teh milik perempuan itu bertahan lebih lama daripada milikku. Namun, tangannya tiba-tiba menaikkan gelas, menghabiskannya dan memesan lagi. “Teh, pahitan wae. Panas yo!” Ia memang miskin, seperti yang lain-lain.

Mungkin karena pahit, tanpa gula, barangkali untuk mendapatkan harga yang lebih murah. Tidak terlalu berguna, selisih tiga ratus rupiah, sama dengan tempe yang kumakan. Aku tidak paham bagaimana ia mengendarai vespa jelek itu, apakah dengan wajah tegang, ataukah seserius sekarang. Hanya yang kutangkap adalah kekhawatiran belaka. Aku ingin selesai sekarang, hanya hujan yang menunda semuanya, perempuan itu terlalu sering menatapku.

“Mau pulang ke mana mas?” Laki-laki yang datang belakangan menatapku ketika sepatu kucopot dan siap memasukkannya ke dalam plastik yang kuambil begitu saja, milik pedagang angkringan yang sedang mengantar teh. “Ke Gondolayu, pak.” “Mau beli mantol?” Dia tadi menawarkannya kepada pemilik angkringan, limabelas ribu. Jika ditambah sepuluh ribu lagi sama dengan jatah uang makanku selama dua minggu ini.

“Lima belas ribu saja.” Selalu saja ada kesempatan bagi siapapun untuk ambil untung, atau saling menguntungkan. “Tidak punya uang pak, e.. tidak bawa uang.” Sebenarnya memang aku tidak pernah memiliki niat beli mantol, sekalipun kalau-kalau di kantongku ada satu juta rupiah. Lebih baik untuk makan besok.

Perempuan itu mengikuti gerakkanku memasukkan sepatu. Sebenarnya aku ingin melihat wujud tua-nya sebelum meninggalkan angkringan, atau bagaimana ia akan berbohong soal jumlah makanan yang diambil. Mungkin aku salah, tapi tampangnya yang selalu mencuri kesempatan akan membuatku benar.

Heh, saatnya menikmati hujan di petang, tubuh yang lelah bersiap jalan kaki dua kilo lagi. “Sampeyan yang tinggal di bawah mesjid itu to mas?” perempuan itu bertanya padaku.

Tepat, saat aku merasa aneh, “Iya, bu. Lha ibu e kok ngerti?” ia tidak pernah tersenyum.
“Aku sering lihat mas e lewat. Aku yang deket gerbang, nempel jembatan.”
“O. Ya udah, bu, saya duluan.” Aku baru dua bulan tinggal di bawah masjid.
“Mas, hape-ne ketinggalan.”
Perempuan yang baik, mungkin ia tetap akan berbohong soal jumlah gorengan yang ia makan.

Jogja