Sebuah hari, dengan kepala migrein dan kepenatan menghantam sisi syahwat, aku menemukan titik-titik terang menuju ke arahku. Ah, sebenarnya bukan titik terang, tapi lebih tepat semangat yang baik saat aku membaca tulisan orang mengenai dirinya sendiri. Menemukan beberapa blog dan mencoba membaca tulisan manusia yang tidak mendaku sebagai penulis, ternyata itu membuat kondisiku membaik, aku seperti minum vitamin dan menemukan banyak hal. Yeah, mungkin aku juga bosan dengan bentuk-bentuk tulisan yang konvensional milik para penulis, peneliti, sastrawan (hueek cuh!), semua tulisan yang mereka sebut kebudayaan literer itu kadang begitu payah dan sok-sokan. Tapi, mungkin aku saja yang tidak bisa menulis sebaik mereka. Menarik... menarik.


Seharusnya kita bisa berkata, “Huah, anjing benar itu Taufik Ismail!”, bangsat tengik si Gunawan Muhammad dll... taik busuk itu taufikul,,, (kenapa namaku? Aku ini sepadan dengan mereka sebagai mahluk) kita hidup dalam kenyataan-kenyataan yang tumpang tindih dengan yang ilusi. Omong kosong ini mengakar dalam diriku, akarnya seperti penis, yang hanya tahan lima sampai sepuluh menit, lalu bosan dan mati.

Baik-baik... bahasa ini agak parah, keterlaluan... tapi ukurannya masih perlu diperdebatkan dong! Dikompromikanlah, soalnya kalau diperdebatkan bisa-bisa kita tidak dapat lebih daripada pandangan-pandangan saja, bukan ketentuan. Postulat! Entut! Baik, siapa yang menganggap bahasaku parah? Tidak! Bahasa itu indah, ya kan? Cara penilaianmu saja yang kabur, memihak, sekaligus tradisionil.

Em, aku memang tidak indah, tulisanku juga. Kata-kataku kotor dan busuk.... tidak bertatakrma. Aku membenci sekaligus mencintai.... aku memaki-maki sekaligus mengagumi. Dunia ini besar sekali.... mata dan pikiranmu saja yang ukurannya kekecilan.

Aku lama sekali tidak membca puisi, tidak menulis puisi, tidak menulis cerpen... tidak melakukan hal-hal baik. Aku tidak shalat, aku ********..., aku mencuri ikan (sebenarnya, sedang menjalani peran sebagai kucing), mencuri itu baik untuk mengukur keberanian orang-orang miskin sekaligus memberi senjata untuk menaklukkan sisi moral yang merong-rong dunia. Kadang aku juga jengkel dan marah, lalu loyo dan terserang penyakit kelelahan akut. Aku melakukan hal-hal buruk, tapi aku memikirkan hal indah dan baik... aku menilai diriku sendiri, aku mencari sumber semangat dan cahayaku. Aku masuk ke kedalaman yang gelap dan meraba-raba jalan keluar dan jalan masuk. aku tidak menangis lagi, sudah begitu lama aku tidak menangis.... sepertinya aku menjadi sangat kejam. Aku memilih menyakiti orang-orang tertentu daripada tidak merasa nyaman dengan kehadiran mereka. Aku berniat tidak akan membantu orang-orang tertentu, orang-orang miskin yang busuk dan membusuk. Aku berjanji, demi sebuah skripsi (kadang lebih dari hal itu) untuk tidak membeli koran yang dijual orang-orang miskin, aku berjanji tidak mau mengurusi mereka yang membutuhkan bantuan, biarkan mereka mati dengan sendirinya. Aku tidak berkhianat, kan? Toh, jutaan manusia di luar sana juga tidak membantu orang-orang miskin itu dan mereka tidak bersalah. Bahkan mereka yang lebih mampu, yang punya uang untuk makan tiga sampai lima kali sehari, mereka tidak salah, kan? Jadi aku juga tidak salah. Aku lebih kere, banyak hutang, kurus kering dan kekurangan nafsu... maksudku kurang gizi, jadi aku lebih berhak dong untuk tidak peduli pada orang-orang di sekitarku ini (parahnya, mereka itu mengelilingiku, seolah aku ini contoh yang baik untuk dimakan!)

Demi skripsi, aku tidak mau ngajar TPA, biar TPA mati... males mengurusi perpus, bimbel, dan tetek bengek ngajari anak-anak itu bagaimana membuat origami. Biar anak-anak itu lupa hapalan yang kemarin. Biarkan aku mengerjakan skripsi dengan tenang dan tanpa migrein. Oke, kawan-kawan orang miskin.... kita semua enggan berada di tempat kita sekarang, tapi tataplah dunia dengan matamu sendiri! Aku yakin, terlalu sedikit orang miskin yang mengerti... mereka akan mati lebih cepat, jadi kita nggak usah terlalu khawatir.
Huah... sekarang tengkuku yang sakit, luar biasa! Kopi ini pasti akan membunuhku... maag kumat dan aku menahan diri untuk tidak cepat-cepat makan. Sialan... dosisku sendiri semakin parah, tiga gelas kopi hitam pekat sehari. Hm, sebenarnya itu sudah kukurangi dalam dua tahun belakangan, setelah dua tahun lalu aku merasakan maag yang menyakitkan di tengah malam yang miskin... ketika tidak bisa makan karena kehabisan uang, malah aku minum kopi. Ya.. ya ya... kepalaku pening sekali, dari samping ke depan.... aku perlu lagu!!! Oasis! Yang kenceng!!! Besok kalau mati, lagu pengiringnya Champagne Supernova. Oke ra dab? Aku bahagia... rasa sakit ini agak menyenangkan... luar biasa. Seharusnya orang-orang bisa menikmati sakit... mereka terlalu bodoh, kan, untuk menikmati sakit?