Malam busuk. Aku sakit busuk. Dan dinginnya bikin aku tambah busuk. Tapi, pasti hanya aku yang merasa dingin karena penyakit gila ini. Di luar, sepertinya orang-orang baik-baik saja dan tidak merasakan dingin seperti aku.
Aku sendiri sedang ketakutan, meringkuk seperti anjing mau mati di bawah selimut tipis satu-satunya yang kumiliki. Berkali-kali kukutuki malam, kucaci setan, dan aku benci diriku seperti aku benci pada iblis. Pastilah mereka busuk dan buruk, mengerikan dan menakutkan, mungkin seperti itulah aku.
Aku tahu sedikit tentang iblis dari masa kecilku waktu aku masih bisa ke masjid dan diberi ceramah guru ngaji tentang iblis. Dan, aku punya gambarnya dari koran. Koran bikin aku ketakutan kalau harus keluar malam. Selain gendruwo, masih ada demit, pocong, sundel bolong, dan akhir-akhir ini ada suster ngesot, mungkin sedang ngepel jalan.
Sakit ini benar-benar bikin aku tidak mudah menentukan mana yang lebih baik, mati atau hidup. Kalau orang miskin sakit, mungkin memilih dukun atau obat eksperimen sendiri, tapi kalau aku yang begitu mungkin aku pilih nyebur ke laut biarpun aku tidak bisa renang. Sakitku biasa saja, selain demam dan gatal di tubuhku, tapi kepalaku peningnya bikin pengin mati itu tadi. Aku minum obat kepala, tapi tidak manjur. Aku bikin diriku berdoa, tapi tambah nggak karuan saja.
“Hai, Tengik! Ayo keluar, jangan tidur saja kayak orang kaya.” Di sini, di tempatku tinggal, tidak ada yang sempurna. Contohnya, aku punya nama bagus buat dilafalkan, tapi orang manggil seenaknya saja. Dan, orang sakit kayak aku ini semestinya dibiarkan mati atau meringkuk saja, tidak usah diganggu macam-macam kalau tidak mau nolong, tapi orang itu malah bikin aku jengkel.
“Asu! Aku sakit, tau. Sana keluar sendiri, biar dimakan setan.”
“Wah, pakai alasan segala. Bilang aja mau tobat atau apa gitu, biar sakit cacinganmu sembuh.”
“Dubrakk.” Aku sih nggak tahan kalau lagi sakit dan dianggu, bisa kucincang copet-copet kurang ajar itu.
Aku lempar selimut, berdiri kayak orang mau roboh, terus ngambil celurit dan kubanting pintunya, maksudnya kudobrak sampai bunyinya keras begitu. Orang itu kaget bukan kepalang, terus memaki-maki tapi langsung diam waktu aku melotot dan ngacungin celurit ke mukanya. Ia jadi gagap dan lari, nabarak sesuatu di tikungan dan teriak-teriak kalau aku sudah gila.
Aku masuk lagi ke bawah selimut, tapi rasanya dingin banget dan gigiku jadi gemeletuk kayak ngunyah karet. Dinding kamarku jadi seperti semak belukar, cantelan baju yang sebulan nggak sempat dicuci dan aneka gambar perempuan nempel juga di situ. Kamarku pasti roboh kalau kudobrak-dobrak lagi kayak tadi, dan yang punya akan marah-marah tiada akhir sampai aku minggat. Yah, padahal kan cuma kayu dan dinding dari gedhek yang murahan, dia pasti bisa memperbaiki tanpa aku turun tangan.
Begitulah, hari ini aku sakit beneran. Di luar nggak gelap amat, banyak lampu nyala. Gang-gang antar rumah sempit emang, tapi orang masih mau nyediain balon lima watt biar kucing yang lewat bisa dibedakan dari tikus. Aku pingin kencing tapi males keluar, takut mati di luar situ. Biar ngompol, toh aku tinggal sendiri saja.
Lalu, datanglah keinginan nggak terduga-duga itu. Aku haus bukan main dan perlu banget minum yang manis-manis. Di kamarku nggak ada minum, nggak ada makanan juga, soalnya aku pasti rebutan sama tikus-tikus beringas kalau ada sedikit makanan saja. Yang namanya haus memang kadang datangnya barengan sama keinginan buat kencing, tapi jelas ini hanya kasusku. Kencingnya sebenarnya cuma setetes dua tetes tapi yang bikin sakit itu loh, orang jawa menyebutnya anyang-anyangen.
Aku harus keluar, nyari minum manis, sekalian beli sedikit makanan meski aku nggak pengen makan. Kucari-cari duitku nggak ada di mana-mana. Aku jadi takut kalau-kalau saat kritis begini aku jadi lebih miskin daripada biasanya. Miskin, tanpa uang, itu suatu kehancuran yang tinggal nunggu saatnya orang itu jadi beringas dan kesetanan lalu mati begitu saja karena kelaparan yang luar biasa. Tapi, pikiranku masih bekerja walau sakit bukan kepalang. Aku bisa ngutang ke angkringan, tapi harus pakai bentakan atau ngancam dikit biar kita kelihatan jadi orang yang pantas dikasihani.
Keluar pintu, rasanya udara makin nusuk-nusuk, tapi aku perlu banget melangkah. Pengen minum air sumur saja, tapi pasti nggak ada manisnya sama sekali, jadi harus tetap ke angkringan yang jaraknya pasti bikin aku mati di jalan. Pintunya kututup tanpa kunci, nggak ada yang perlu dijaga di dalam kamar, semuanya barang bekas, bahkan aku belinya obral semua itu. Gang-gang kecil bikin ciut hati, apalagi malam ini kayaknya masih panjang banget, baru jam sembilan dan sepertinya jam belajar sudah selesai, dan semua orang nonton TV di rumah masing-masing yang pintunya dikunci rapat-rapat. Aku jalan sempoyongan, tapi tidak mirip orang teler, hanya kayak anjing kelaparan yang hampir tewas. Lima puluhan meter, jauh sekali! Dunia ini jadi begitu luas. Joyoboyo pasti salah meramal, katanya dunia jadi sempit.
Di luar sepi sekali. Biasanya emang gini, kecuali kalau lagi pada pengin mabuk bareng. Di tepi kali ada satu dua orang ngobrol saja sudah terhitung seru, maksudnya nggak sepi. Jadi, dari kamarku ke arah angkringan itu nggak kutemui seorang pun, hanya rumah-rumah yang pintunya ditutup dan suara TV nyala. Padahal, deretan rumah-rumah itu padat banget. Hah, biasalah, ini kota man.
Aku udah kayak mau tewas saja. Di angkringan juga sepi, dua orang yang habis makan sudah mau pergi, ninggalin penjualnya yang matanya selalu ngantuk itu. Penjualnya itu juga susah diajak bicara, kurang cerdas, dan lelet. Tapi aku mau ngutang, jadi harus bicara agak halus dan kayak babu ke tuannya, tapi nggak begitu-begitu amat. Biasanya aku minum atau makan, baru bilang kalau ngutang. Soalnya kalau bilang dulu, pasti ada yang kurang, kadang minumnya kurang manis, mienya kurang asin. Kalau kita nanya kok kurang manis, dia jawabnya gampang ajah, gulanya besok pas bayar hutang. Jadi, kita harus cerdas.
Aku mesen minuman manis dicampur teh, orang bilang teh manis. Aku coba makan gorengan tapi susah banget masuknya. Jadi aku cuma bilang minta dibungkusin gorengan dan sekalian minuman manisnya itu, aku sudah nggak tahan kalau berdiri lebih lama di luar begini. Setelah selesai, dan rasanya aku pengen jatuh, aku baru bilang kalau uangnya tertinggal, nanti aku ambilin dulu. Dia nggak percaya dan nyuruh aku bilang saja hutang, beres. Tapi aku enggak mau, makanya kubilang tunggu saja. Pikirku, tunggu aku mati ya!

Co-dhe, 2008