Ida
1
Aku pulang terlalu malam. Dingin udara semakin mengerikan dan bayangan hitam di sudut-sudut gang seperti mengancam. Tapi, yang lebih menakutkan adalah saat tubuhku terjengkang dan kepalaku terasa pening. Tangannya sangat kuat. Ia menampar, membentak, dan menyentakkan tangan itu berkali-kali. Aku menangis dan menjerit. Aku biasa meneriakkan kata-kata ini kalau ia melakukannya padaku, “Sakit, Mak! Sakit!” Kalau aku menangis, aku akan lebih banyak mendapat tamparan atau cubitan.
Dua hari lalu dadaku dilempar batu. Rasanya masih sakit sampai sekarang. Karena itu aku pergi, tidak pulang dua hari. Pergi lebih enak karena aku bisa mendapatkan uang dan makan kenyang tanpa dipaksa melakukan ini itu seperti di rumah. Tapi, tadi seseorang menemukanku waktu aku lagi ngamen dan menyuruhku pulang. Meski aku takut, ia memaksa, ia orang yang besar. Ia disuruh Emak mencariku.
Di rumah Emak sudah menunggu, tanpa senyum dan wajahnya putih mengkilat. Kali ini ia menjambak lagi. Rambutku banyak kutunya dan kusam seperti bacam, ia tidak akan tahan lama-lama. Tapi, rasanya tetap sakit. Ia suruh aku mandi, mandi cepat-cepat, tanpa sabun atau shampo. Ia suruh aku makan, tapi tinggal nasi sedikit tanpa lauk, kakakku menambahkan garam. Mereka sudah tidur waktu aku pulang. Aku besok sekolah, jadi harus cepat tidur. Tapi, sekarang sudah jam tiga pagi dan aku tidak merasa ngantuk lagi. Aku hanya merasa agak sakit.

Dulu aku sangat takut pergi dari rumah, sekarang jauh lebih biasa. Aku bisa minggat beberapa hari dan tidak setor uang ngamen, tidur di mana saja sepertinya lebih menyenangkan. Angga akan ikut. Ikut main CS, ikut makan es krim, dan aku bisa membeli semuanya. Tapi, aku tidak bisa menukar tamparan dengan uang-uang ini.
Angga tidak dihajar, cuma dimaki-maki. Entah kenapa, mungkin karena dia benar-benar anaknya, sama seperti kakak-kakakku yang lain. Sedang aku, Nia bilang ibuku gila. Voni bilang bapakku yang gila. Tapi, Emak bilang aku cucunya yang disayangi.

2
Kota sudah beranjak sepi.
“Aku lapar dan rumah itu terkunci untukku. Ibu akan memukul lagi.” Malam membuat gang-gang semakin lebar tetapi menimbulkan sesuatu yang menakutkan bagi anak-anak, kegelapan.
“Tidak perlu takut, aku di sini untuk menemanimu. Ayolah duduk bersamaku, ini akan lebih hangat dan nyaman.” Tangannya membelai anak kecil itu.
Sebenarnya siapa kamu?
“Mm… aku temanmu, aku malaikat yang keluar dari jubah cahaya dan datang untuk menemani anak-anak.”
“Malaikat? Apa itu malaikat? Di mana rumahmu, malaikat?”
“Di antara cahaya yang kau lihat, yang membuatmu buta karenanya. Malaikat itu hanya jiwa dan aku sungguh-sungguh seorang teman. Jika kau percaya padaku aku akan selalu menolongmu dan hadir di sisimu.”
Setelah hari itu ia sering melihat perempuan itu datang ke dekat kamar mandi, seperti menunggunya keluar dari rumah. Perempuan yang mengaku malaikat itu berambut sebahu, dengan mata yang jernih, namun kulit wajahnya menunjukkan sesuatu yang tidak wajar, seperti kepucatan.
“Kenapa kau merintih jika bertemu denganku, anak kecil?”
“Tidak apa, hanya sedikit sakit di dalam sana. Aku akan tidur di sini, di pangkuanmu.”
Dan, pagi-pagi berikutnya para tetangga menemukan gadis kecil kumal tertidur di depan kamar mandi dengan tubuh mengigil. Ada yang marah dan menyebut ibunya sebagai pelacur, tapi hanya dalam hati.
“Kenapa Ida tidur di luar?” Soleh yang tahu peristiwa itu mencoba bertanya pada ibunya yang selalu berwajah marah, tapi putih kepucatan karena krim-krim yag dioleskannya. Tujuh anaknya yang lain hanya diam dan segera menyingkir.
“Mau dia sendiri. Disuruh tidur di dalam tidak mau, biar nanti kuhajar saja!” Orang-orang berhenti menasehati perempuan itu jika suara Ida merintih lebih keras dari dalam rumah. Mereka lebih suka melihatnya tidur di kamar mandi dengan tubuh menggigil daripada mendengar suara tangis yang tidak menyerupai tangisan, hanya teriakan menyanyat, “Sakit, Maaak!”
Lalu, anginpun kembali dingin. Pada malam ke sekian malaikat itu datang membawa mangga arum manis yang baunya menguar ke udara, memenuhi langit-langit setiap rumah dengan aroma kematangannya.
“Lihatlah, Nak, kau akan makan seperti mereka juga makan. Hari ini kau dapat berapa?”
“Empat puluh ribu enam ratus dan empat pukulan di punggung. Aku mau ikut kamu, malaikat. Apa boleh?”
“Tidak boleh. Kau tidak perlu ikut, aku akan mengambil rasa sakit dari tubuhmu biar kau bisa hidup seperti mereka.”
Malaikat mengelus wajah Ida yang suram ketika tiba-tiba Ida kehilangan rasa sakit yang disimpannya bertahun-tahun. Sakit yang selalu bertambah dan bertambah kalau ia pulang ke rumah.
“Kenapa rasanya lebih nyaman sekarang?”
“Karena rasa sakit itu milik manusia biasa, dan kau adalah anak yang luar biasa. Sekarang makanlah, sebentar lagi orang-orang akan datang. Aku akan pergi sebentar.”
Orang-orang tergoda untuk keluar dan mencari tahu di mana asal aroma memikat seperti itu. Mereka menemukan Ida tengah menjilat tanah dengan mata terpejam.
Orang-orang mendekat dan merasakan sakit luar biasa. Mereka menganggakat tubuhnya yang panas itu dan membangunkannya. Tidak ada yang berani memberitahu ibunya. Takut, kalau-kalau mereka yang justru dimaki-maki dan disalahkan. Atau mereka khawatir Ida akan mendapatkan hal yang lebih buruk setelah dibawa ke dalam rumah.
“Kau belum makan, Ida?”
Matanya terbuka dan tersenyum. “Aku baru saja makan mangga.” Tangannya terjuntai, mau diangkat tapi tidak kuasa.
“Tapi tidak ada mangga di sini. Bukan musimnya.” Tapi, mereka mencium aroma mangga arum manis itu seperti sedang memakannya.
“Ayo, makan di tempatku saja.”
“Sudah kenyang, aku mau tidur.”
“Di tempatku, ya?”
“Tidak, di sini saja, lebih hangat.”
“Kamu sakit?”
“Tidak. Tidak terasa sakit, tidak terasa apa-apa.”
“Badanmu panas seperti ini. Ke tempatku saja, nanti kukompres.”
“Jangan. Aku mau pergi bersama malaikat. Dia akan datang. Dia akan datang.” Orang-orang jadi terdiam dan tidak mengerti lagi yang digumamkan Ida.
Orang-orang membopong tubuhnya yang lemas, mereka akan menguburkannya tanpa memberitahu Emaknya. Aroma mangga arum manis pergi bersama Ida.
2008

2009: Ida sudah pindah.