Jatuh cinta pada hal-hal yang tidak bakal dimiliki...

Bapak tambah kurus, mungkin karena tekanan darahnya atau ayunan cangkulnya atas tanah yang disewa. Selaku petani penggarap, atau kadang buruh tani, tak ada hikayat laba yang diperoleh dari harga jual gabah dikurangi biaya produksi. Katanya, menanam padi biayanya terlampau besar, jadi mungkin sawah yang disewanya per tahun itu akan dicocoki dengan kacang tanah saja.

Aku heran juga, kegiatan bertani lebih banyak menguras tenaga dan subsidi dari gajiku tetapi dia masih gigih juga. Dahulu alm. ibu bilang 'bertani itu hobi saja, sehingga memang tak aneh bahwa petani macam bapak ini seorang penghobi yang pura-pura bekerja sebagai petani. Yah, mungkin di kampung kalau tidak beberja (yang bisa diartikan secara sederhana 'mengerjakan sesuatu') maka terasa aneh sendiri. Apalagi, bapak oranya tidak bisa diam, ada saja yang dikerjakannya.

Memang sekarang bapak punya partner baru untuk membantunya mengaduk-aduk lumpur di sawah, atau mencangkuli kebun, tetapi kerentaannya tetap saja membuat beban hidup makin berat. Batuknya saja terlalu dalam, ditambah rokok sebatang sehari, dan bau kandang kambingnya jelas menyiksa. Oh, tapi bau kandang kambing sepertinya malah menghiburnya, meski sekrang dia tidak akan makan daging kambing lagi seperti dulu.

Kambingnya tiga, suka mengendus-endus semua. Baunya macam tak pernah mandi. Kambing mengenali siapa bapak dan siapa aku, jadi reaksinya akan berbeda ketika didatangi. Sekarang kambingnya dibikin saf, seperti kalau orang shalat; meski ini imamnya adalah tumpukan rumput. Tiga kambing saja sepertinya cukup, karena akan berkaitan dengan kemampuan bapak mencari rumput. Padahal sih lumayan produktif itu emak kambing; empat anak sudah dilahirkan dan semuanya jantan (sehingga mudah dijual).

Selain kambing, menthok/angsanya juga sedang menggerami telur. Maka bapak sibuk menyiapkan perlebaran kandang. Kandang yang diberi peneduh, yang usianya sudah lebih dari 5 tahun dan kotorannya juga 5 tahun, reyot sana-sini. Sudah beberapa kali diganti tiang, tetapi atap genteng tampanya terlalu berat. Di sana pernah juga dipelihara bebek. Kalau ayam sih memang penghuni mayoritas sejak didirikan. Sementara burung-burungnya sudah tidak ada, entah ke mana. Bapak sering menjual atau mengasih dekukur ke saudara secara cuma-cuma. Juga tak ada lagi jalak dan perkutut. Yah, pokoknya sekarang tak ada burung di kandang atau di rumah.

Namun, tokonya masih. Dahulu bapak jual pakan burung, ayam, unggas, dan pupuk. Selepas ibu tiada, tokonya sepi juga. Katanya, mau diisi lagi karena sekarang bapak tidak boleh kerja terlalu berat di sawah. Sambil buka toko lagi, bapak mau urus kambing, mentok, dan sejumlah ayam yang kadang buang kotoran di teras rumah. Aku mendukung saja, berharap semoga ia berumur panjang.

Beberapa bulan lalu aku juga sempat beli buku kumpulan hadist sahih muslim, siapa tahu bapak yang tidak lulus madrasah ibtidaiyah itu pengen baca. Tapi agaknya sia-sia, setelah kuperiksa-periksa sepertinya tidak ada yang baca. Tampaknya bapak sudah hafal. Dia lebih suka baca yang tanpa terjemahan, atau buku-buku khotbah jumat sebagai bahan ketika dapat jatah khotbah.

Jangan salah, selain hadist di rumah juga kusediakan buku-buku yang ditulis oleh orang-orang ateis, dan itu lebih banyak daripada buku hadist. Tapi nasibnya sama, dari sekian ratus buku hanya komik yang sepertinya dibuka...dan surat-surat dari teman-temanku yang sekardus. Ah, sialan memang, siapa taruh surat-surat itu di sana. Dan sepuluh buku catatan harian yang bakal bikin muntah-muntah, dilengkapi dengan beberapa foto perempuan sopan nan anggun.

Bapak tidak baca semua itu. Yeah, kebetulan aku juga bikin perpustakaan bukan untuk dibaca bapak sih, hanya untuk menaruh buku dan pamer saja (padahal sebagian buku gratisan). Kurasa tidak ada buku hasil curian di situ, aku yakin.

Bapak lebih suka merawat kambing dan menyalurkan hobi bertani. Aku kadang heran juga, meski aku juga suka hal-hal semacam berkebun dan memelihara binatang tetapi kok jatuh-jatuhnya lebih condong memegang pena daripada cangkul. Selain itu, lebih suka baca buku-buku aneh daripada hadist atau kitab suci.

Yah, mungkin karena memang bapak hidup dari lingkungan pertanian dan sekarang pun--setelah beberapa kali pidah tempat--tinggal pada lingkungan yang 'hanya' menyediakan pekerjaan sebagai petani/peternak. Sementara aku yang mengungsi ke jakarta dan dibekali ijazah sarjana hidup pada pilihan yang lain, malah tidak ada sawah di ibukota.

Kampung sendiri masih tetap sepi dengan jalan-jalan yang semakin rusak, istilahnya sebagian besar jalan adalah lubang-lubang sementara yang datar dan bagus adalah keganjilan. Bahkan jalan alternatif semarang-solo pun tak lepas dari nasib yang sama. Memang, jalan kampung nasibnya lebih buruk. Seingatku sudah 3-4 tahun ini tanpa perbaikan, atau malah lebih lama. Apalagi, selepas pak polisi depan rumah tidak menjabat lurah dan pensiun, jalanan di kampung makin tidak menentu saja, termasuk di depan rumahnya.

Padahal ya, makin banyak pabrik mau dibangun sejalan dengan pembangunan jalan tol, entah posisinya di mana, yang jelas ada dua pabrik dekat kampung. Bukan pabrik tekstil yang kemarin diresmikan wakil gubernur, entah pabrik apa. Tapi di mana-mana, di kampung, memang jalannya rusak parah. Di daerah bringin, kabupaten semarang, juga senada, benjol sana-sini dan berlubang. Tak apalah, pembangunan memang dilayakkan untuk di kota.

-Sent from my blackcoffee-