Kepergiannya menyisakan sepi yang hangat, dekat yang hambar, bisikan-bisikan yang jauh dalam doa-doa, dan kenangan yang menghablur, jadi kristal-kristal.

Aku sendiri telah merelakan bahkan sebelum dia benar-benar pergi, sejak awal kudengar perihal sakitnya, dan tak kuasa kumintakan doa pada pengemis-pengemis di pinggir jalan agar dilancarkan segalanya. Aku sama sekali tidak meramal, bahkan ketika tubuhku berubah aneh selama beberapa hari sebelum kepergiannya; tubuh bagian kiri terasa grang-gring yang kemudian hilang ketika sampai di rumah.

Tidak, manusia tidak perlu meramal kematian sebab itu terlalu pasti, lebih pasti daripada kemungkinan terbitnya matahari dari sisi timur.

Dan kami tahu keikhlasan bukan jalan untuk membuang kesedihan, bukan cara untuk melupakan atau melarutkan kenangan. Kau bahkan tidak pernah tahu kapan tiba-tiba mengeluarkan air mata, di tengah jalan, di kepungan doa, atau di tengah sebuah pesta.

Ketika tiba-tiba aku memutuskan segera pulang bersama adikku, aku masih ingin memastikan bahwa dia bisa bicara kepada kami. Kau tidak akan pernah membayangkan ketika mendapat kabar bahwa kaulah satu-satunya yang dinantikannya untuk hadir di sana; dan aku menahan diri untuk tidak menyesal seumur hidup. Kutolak segala bentuk penyesalan atas kepergiannya, bahkan jikalau itu terkait ketidakmmapuan membiayainya atau menemaninya pada saat-saat beban sakit ditanggung sendiri.

Kuputuskan untuk tidak pernah menyesal. Dia tahu kami akan banyak mengambil pelajaran dalam perjalanan hidup dan perjumpaan-perjumpaan dengannya pada sekian tahun kehadiran kami. Hal yang sama tampaknya berlaku dari sudut pandang ayah kami yang seolah menolak tangis di tengah upayanya mengucapkan kalimat "Allah" pada saat sakaratulmaut. Kalimat yang berhari-hari didengungkan dengan tiada jelas pada setiap desakan napas yang sudah tak berbentuk, upaya terakhirnya untuk bertahan hidup sekadar memberi kesempatan dua putranya hadir dan mengantarnya "pulang."

Sayatan atas kepergiannya mungkin tak akan pernah hilang sebagaimana tanda lahir, menemani kami hingga sesapan napas terakhir, tapi dia tahu kami anak-anaknya yang tidak tumbang hanya oleh kepergian. Ah, sekalipun beberapa kaos ku jadi saksi atas berlimpahnya umbel yang keluar dari hidungku, umbel encer terbanyak yang pernah kulihat dari hidungku.

Hidup ini pendek, langkah-langkah tidak pernah pasti, apalagi bagi golongan kami, golongan yang seolah ditakdirkan berjuang hidup hanya untuk terus berjuang menjumpai kematian. Untunglah kami bukan orang-orang yang mudah iri, sekaligus tak mudah sakit hati, lebih baik pergi daripada menikmati hak orang lain. Berumah pun kami seperti pelarian.

Hemm, aku tiba-tiba ingat bagaimana rasa masakan daun singkong yang dibawakannya ke ladang di samping belantara Kalimantan. Tak ada paduan istimewa selain daun, air, garam, dan santan ... hanya saja selalu ada yang lebih istimewa dalam masa lalu itu. Kami tidak pernah memikirkan perjuangnannya berjalan beberapa kilo melewati hutan dan barisan semut api yang sesekali meninggalkan luka di kakinya, kami hanya tahu kesenangan saat dia datang dengan tomblok dan nasi hangat di gubuk di tengah ladang.

Ah, berkalang tanah ia sekarang. Entah dimakan apa tubuhnya. Aku hanya ingat bau mayat saat memandikan, selebihnya hanya kenangan yang hidup berkeliaran di dalam ingatan.