Aku
ingin menulis dengan caramu, cara mereka, cara kebanyakan orang terjebak dalam
kenormalan; dan itu lebih sulit diterima daripada kenyataan. Cara yang disebut
dengan pemahaman; dan kuurungkan niatku demi melihat kejadian-kejadian pada
manusia belakangan bahwa manusia normal itu penuh tipu daya dan keterasingan
yang tidak terpecahkan bahkan oleh dirinya sendiri. Maka, jadilah aku tetap aneh,
atau barangkali terbelakang dan tak terpahami. Dan sekujur kebohonganku itu
akan terus ada sekalipun kalian memaafkan atau bahkan melupakanya; sekalipun
aku tak sempat menulisnya untuk diriku sendiri; menulis pada kekosongan dengan
huruf capital “KOSONG.” Maka tetap demikianlah tulisanku, tak dijamah tata
bahasa, tak bersentuhan dengan realitas, menjauh dari sangkar-sangkar, dan akan
akhirnya hanya sebongkah ilusiku sendiri.
Aku
ingin tulisan-tulisan yang menggambarkan kehidupanku sendiri; tapi kedirianku
menjebak dan menjatuhkan segalanya jadi terlalu dingin; untukku.
Kukira
aku tidak pernah ingin bersepakat dengan dunia perihal apa yang kutulis,
perihal cara dan pesan yang ingin kusampaikan. Tak ada ikatan yang membuatku
mesti tunduk menjadi manusia baik-baik dan menulis dengan cara mereka, atau
dengan tujuan-tujuan yang lebih sederhana daripada kata-kata. Aku belum pernah
membaca buku tentang kegunaan kalimat-kalimat rumit, dan aku tidak pernah paham
dengan kalimat yang sederhana, yang ingin telanjang di hadapan sebuah kran; aku
tidak mengerti kenapa kita telanjang di hadapan kran.
Aku
ingin kalimat dan paragraph yang menyambung dan berikatan satu sama lain
seperti serombongan tentara yang tidak ingin terpisah satu dengan sesamanya;
dan kukira ilusi semacam itu membuatku bersekolah dan mengenakan seragam dan
tidak ingin berpisah dengan teman-teman di masalalu, di tempat aku bisa
membayangkan masa depan tanpa pernah mengerti apakah masa depan itu sesuatu
yang dibayangkan sejak kita kecil. Kukira aku bahkan tidak pernah ingin
memahami apa yang kutulis ini.
Lihat
bagaimana kita menjadi normal. Atau kau saja. atau haruskah aku. Dan mengenai
hal-hal yang tidak pernah bisa kupahami aku hanya memberikan senyumku; senyum
paling palsu yang bisa kusajikan dengan variasi kebisuan dan ketidakpedulian.
Kalian mengerti dan aku tidak; mungkin kata-kataku hanya barisan tentara tak
terlatih yang ingin menyerag markas mereka yang tertata sejak dalam pikirannya.
Dan tentaraku tidak pernah cukup kuat, mereka hanya gila dan ingin
bersenang-senang dengan sedikit rasa pemeberontakan ini.
Aku
ingin tulisan yang memuat judul, sedikit pengantar, sekian paragraph isi,
penutup yang janggal, dan bumbu kesalahan tulis yang indah. Tulisan-tulisan
yang tak usah mewah, tak perlu bunga-bunga yang susah, hanya sebuah jambangan
dengan kata-kata kotor yang tak mau disiram.
Apa
kau mengerti? Bahwa aku tidak mengerti? Dan dimanakah mestinya aku tempatkan
kemunafikan dalam sebuah tulisan? Dimanakah aku dudukkan kebohongan? Mestinya
aku sediakan kursi dan sedikit cemilan untuk kemarahan, atau mungkin sebuah
samburan sorak-sorak untuk sejumlah kejahatan yang rela hadir dalam pesta
tulisanku ini.
Aku
ingin times new roman, 12 pt, baris kiri 4cm, kanan 3cm, atas 4cm, bawah 3cm,
spasi satu, dan sebuah pengantar yang manis dengan kata-kata salam yang
menjilat atau sebuah aubade di akhir. Aku ingin sebuah tulisan yang berguna
yang dialamatkan kepada bangsa dan negara yang berkhianat, atau sebuah tipe
cerita pendek yang menuturkan kisah cinta palsu di taman yang kering dengan
sejumlah air mata yang dibuat dari comberan. Mungkin aku butuh menulis
puisi-puisi indah, atau yang dianggap indah, dan menjumlahkannya dengan sebuah
potret senja dengan anak tirinya, dengan keponakan dan kawan-kawan
sepenghianatan. Lalu kutekuk semua keingananku dan kumasukkan ke saku; aku
berjalan di taman sungguhan dan hanya menemukan rumputlah satusatunya yang
masih indah.
Ah,
konyol ya… bahkan ketika kita ingin nyentrik dan lepas dari segala kungkungan
cara menulis, tujuannya, dan hasil-hasilnya. Aku benci menjadi biasa, tapi
lebih sering aku membenci diriku sendiri, dan mengapa kita mesti membenci
sesuatu padahal ada yang lebih menyenangkan daripada itu; memaki-maki dan
mengeluarkan kata-kata kotor lalu kita sudahi dengan minum segelas bir
diam-diam agar kemarahan kita tidak mengetahuinya.
Aku
ingin sebuah kertas yang meliuk.
Aku
hanya menulis untuk diriku sendiri; menulis bukan untuk kelayakan, bukan untuk
tujuan-tujuan baik atau mengikuti sejumlah tips menulis, karena bebanku sudah
lama jatuh di comberan. batas-batas, katakan padaku di mana yang harus dilewati
seorang yang ingin menjadi penulis? Maka aku akan mengambil langkah sebaliknya
atau setidaknya aku tidak peduli lagi dengannya.
Ah,
konyol ya… bahkan saat semua kebesaran hidup, atau sesuatu yang
dibesar-besarkan dalam hidup, menyebut kesederhanaan itu penting dan kebaikan
itu akan mengalahkan kejahatan, atau semacam cita-cita mulia atau kemanusiaan
atau apalah itu kata-katanya yang kalian lebih tahu, dan aku tidak ingin menjadi
seperti yang diharapkan orang lain. Aku hidup dan tidak ingin mencari tahu apa
itu yang mereka sebutkan, tidak mau menuruti jalan-jalan setapak yang dirintis,
yang ditunjukkan dan dinasehatkan. Tidak. Bagaimana dengan jalan yang tidak
pernah kalian jamah, yang didiktat undang-undang criminal disebut pelanggaran,
atau yang oleh guru-guru sd kita ditekankan dengan kata tidak secara keras dan
menganggu? Aku sedikit terganggu dengan manusia, sebagian dari mereka lebih
menyerupai kekosongan sesungguhnya dan menyimpan lubang penghancur. Para
penasihat, para moralis, para guru bersertifikat, para contributor Koran, para
penulis sejati, para pemain kriket, para pelacur yang ingin tobat, para kambing
yang kesepian di balik embikannya yang lantang.
Aku
menulis di malam-malam saat semua kelelawar terbangun dan kesepian merambati
jalanan seperti waktu menempuh jalurnya; saat anjing-anjing behenti menyalak
karena lelah dan angin ngaso di bawah pohon randu; saat orang-orang bercinta
dan menyibak gaun pasangannya atau cicak-cicak mulai mengendus bau nyamuk. di
manakah tujuan itu; kucari-cari dalam segala hal yang bisa kulebih-lebihkan.
Jikapun
ini semua manifestasi sepi, kalau saja aku didorong rasa angkuh, atau hasratku
pada sesuatu semakin memburuk, kubiarkann saja segalanya mengental dan tidak
lagi terkendali. Biarkan kegilaan muncul dan tidak mau mengambil jarak dari
kewarasan; kita toh hanya teka teki yang tidak mau dipecahkan. Ah, bagaimana
seandainya aku hanya penjahat kambuhan yang akan kembali menjadi baik; kembali
menulis nasihat-nasihat di kemudian hari; mencipta sajak-sajak malu di bawah
rintik air mata yang kemayu; menengadah pada editor-editor untuk menerbitkan
buku dan kata-kata yang buruk dari novel-novel yang mengenaskan; membuat
fragmen-fragmen tentang alam sambil menedesak perubahan; memutar haluan jadi
pendeta atau resi dengan nasihat paling konyol. Ah, itu semua mungkin bakal
terjadi dan mestinya sesudah aku menghabisi diriku sendiri dengan sebilah
kebohongan. Aku akan mengambilnya. Kebohongan itu, ya … bahkan kalaupun harus
kuturutkan hal-hal paling busuk seperti penghianatan dan kemunafikan. Tidak
masalah bagiku, toh jiwaku tidak membutuhkan kebaikan melebihi dari kejahatan.
Aku
menulis dan tetap tidak ingin mau tahu apakah kalian memahami, sekalipun dari
tadi aku ingin kalian benar-benar tahu posisiku, aku ingin kalian melihat musuh
kalian yang kalian sayangi, aku ingin turun derajat menjadi penulis comberan
yang tidak punya hasrat dan tidak ingin menjadi penulis baik, apalagi penulis
hebat. Aku bahkan tidak tahu apa itu arti hebat atau baik. Mereka toh tidak
juga memahamiku.
Tidak ada komentar
Posting Komentar