Akan kuceritakan satu kisah, dan kuharap kalian memberiku pemecah!

Wendi, sebagaimana kutulis sebelumnya sebagai si abg putus sekolah penuh masalah, mengikutiku di belakang. Ia mengatakan akan menyusulku ke jakarta! Ia bertekad lari dari jogja, kota yang mungkin telah menyakitinya.

Minggu pagiku seharusnya jadi hari yang nyaman dengan berakhirnya sebuah liburan. Bahkan pagi itu anak pak rt mengantarkan dua gelas susu, untukku dan untuk nanang. aku juga sempat menulis di kompasiana. Aku berniat menikmati suara ombak yang mampir di code. Ombak yang dihasilkan dari formasi-formasi pasir dan arus, menimbulkan suara deburan seperti sesuatu menyeberangi sungai. Suara yang sama kalau kita duduk di pantai. Dan sungai itu memang lebih mirip pantai, dengan pasir dan suara ombaknya.

Tiba-tiba telepon berdering. Ada nama wendi. Suaranya patah-patah, dia minta tolong, minta aku ke jogoyudan. Sebab, katanya, dia sedang dipukuli, diancam akan dibunuh. Orang-orang menuduh dia mengambil hape. Aku tidak begitu memahami percakapan itu. Aku hanya tertegun dan mengatakan pada nanag kalau wendi sedang dikeroyok, dipukuli, dan katanya akan dibunuh.

Tuing! Ah, tega-teganya kau, tuhan, memberiku akhir libur yang aneh. Aku berjalan ke jogoyudan, sedangkan nanang menjemput mae di perempatan gramedia. nang sampai duluan. Di perjalanan, aku berpikir tentang tuhan. Hm, entah kenapa, kupikir tuhan berguna juga di saat kita tidak bisa melakukan apa-apa. Kupikir, hanya tuhan yang akan menyelamatkannya, bukan aku ataupun nanang. Aku bukan superman.

Sepanjang perjalanan, kukira nanti aku hanya akan mendapati satu sosok bangkai. dan kurasa itu lebih baik daripada mendapatinya mengeluh sepanjang waktu. Biarlah, kiranya dia mati dan aku menjadi orang paling bersalah karena tidak menolongnya, daripada nanti aku mengurusi dia terus, seolah aku ini bisa berbuat banyak untuk seorang abg yang gemar merokok dan bekerja tak jelas. Kupikir, aku lebih memilih mengantarnya ke pemakaman daripada mengurus seorang yang sakit. Tapi, di sisi lain akupun membatin, hanya tuhan yang akan menolongnya. Shit, kenapa aku tidak berdoa, semoga dia mati dengan tenang!

Aku sempat bingung ketika memasuki Jogoyudan. Jembatan ke jogoyudan sudah hilang. Aku mencebur ke sungai. Dan rumah-rumah kosong, dibekap pasir. Kampung itu hanya diramaikan oleh air dan pasir, yang tampak seperti dua kakak beradik; menggenang akrab di jalan-jalan kampung. Agak sulit menemukan kontrakan wendi. Aku harus berputar-putar dan memperkirakan di mana tepatnya. Tak banyak orang di sana, sepi saja.

Akhirnya aku sampai setelah nanang menunjukkan jalannya. Nanang harus pergi lagi, pacarnya sedang berkunjung. Akulah yang mesti di sana, seperti superman? Ha!? Mungkin wendi menilainya begitu, bahwa aku pasti bisa menolong, bahkan sekalipun yang memukulinya malaikat maut, atau iblis-iblis yang beberapa bulan belakangan menjadi penghuni Jogoyudan (cerita-cerita ini banyak kudengar selama aku di jogja).

Di rumah itu, kutemui wendi. Sudah agak sepi. Kenapa tidak ada bak-bik-buk, ya? tampang wendi sudah lebam tak karuan. Dia menceritakan sebabnya, dia dituduh mengambil hape. Lalu mae Wiwit, yang juga mengontrak di situ, menceritakan kisah sebetulnya. Lalu, Yono dan Wiwit, dua orang yang memukuli wendi, dan beberapa laki-laki lain datang. Mereka semua satu kontrakan. Mereka sengaja melokalisir kasus pencurian itu agar tidak didengar warga kampung, sebab mereka semua bisa diusir jika sampai terdengar ada kasus macam ini.

Aku duduk di lantai, dikelilingi Mae Wiwit, Wiwit, Yono, Mae Esti, Lia, Wendi, adiknya Yono (yang kehilangan hape) dan satu laki-laki yang tak kuketahui namanya. Di ruang sebelah, tiga laki-laki tetiduran. Berganti-gatnian aku emndengarkan cerita dan keluhan masing-masing orang. Kupikir, aku sedang menjadi hakim yang mendengar si pengacara dan jaksa bercerita. Tapi, sesungguhnya secara fisik, posisiku lebih mirip si terdakwa. Aku duduk di tengah. Dan harus memutar badan tiap kali masing-masing orang berbicara. Hm, aku hanya mendengar dan mengiyakan, dan sedikit mencerna jalan cerita. Kupikir, saat itu, aku seperti seorang yang suci (shit!), seorang yang dipikir bisa menjadi jalan keluar. Dan hasilnya nihil.

Yono adalah laki-laki berdarah dingin yang tidak segan-segan membunuh orang. Sudah pernah masuk penjara dan sering berkelahi. Meski tubuhnya kecil, dia terkanal sangat kuat. Dialah laki-laki yang harus “ditaklukkan” dalam acara dengar-pendapat itu. Aku tidak yakin, sebab aku sendiri hanya mendengarkan masing-masing orang bicara. Aku tidak punya solusi. Aku ahanya menuruti apa kata mereka. Meski akhirnya Yono bisa sedikit mengendurkan ancamannya, dan mengatakan bahwa kasus itu adalah titik yang ingin diselesaikannya sebatas itu saja (pemukulan, dan tidak sampai pada penghilangan nyawa. Wiwit sedikit menurunkan tuntutan, cukup membuat si tersangka cacat seumur hidup).

Cerita ini masih panjang, kukira... tapi, satu hal yang tidak berhenti pada kasus itu lah yang sekarang meresahkanku. Wendi berniat pergi dari jogja, dan jakartalah tujuannya. Dan, lagi-lagi, minta aku menolongnya. Selepas kutinggalkan tempat itu, wendi berkali-kali sms tentang keinginannya ikut ke jakarta bersamaku, bahkan ingin saat itu juga. Tapi, masalahnya sendiri belum selesai. Nanang sudah terus terang menolak. Dan aku memberinya pesan-pesan menghambat; mengenai betapa tidak mudahnya hidup di jakarta, dan bahwa aku tidak bisa menampungnya, dll. Dan itu tidak menyurutkan wendi. Sesekali dia sms bahwa dia masih terus dihajar. Ah, ini dunia yang aneh, tempat orang-orang miskin menjalani hukuman, tanpa seorang hakim yang bisa memutuskan apa kesalahannya.

Wendi tampaknya akan tetap ke jakarta. Kukatakan bahwa aku hanya bisa memberinya uang saku, yang aku titipkan ke Gandung agar diambilnya esok hari. sedangkan nanti di jakarta, aku tidak bisa menjanjikan apa-apa. Nanang sendiri menolak memberi alamat tempat tinggalnya. Aku terpaksa memberi alamatku. Tak kuberikan clue2, berharap dia tidak jadi ke jakarta. Kupikir, lebih mungkin hidup di jogja daripada di jakarta bagi seorang wendi.

Aku meninggalkan jogja dengan galau, dengan kekhawatiran yang makin menumpuk. Kereta yang sesak makin sesak oleh wendi yang masuk dalam kepalaku.





Teman … aku khawatir wendi benar-benar ke jakarta, dan mendatangiku. Terus terang aku tidak memiliki banyak solusi untuk dia. Aku sendiri masih punya beban di rumah, pada ortu dan adik-adikku. Sebetulnya aku tidak ingin mengeluh macam ini. Tapi, kupikir, kalau kalian punya saran atau punya informasi kerjaan untuk wendi, bagilah untukku.