Waktu begitu cepat membuat kita tua, tetapi pikiran bisa lebih cepat lagi. 

Betapa semua ini telah sangat menjerumuskanku dalam lubang penyesalan. Seandinya, seandainya kita dapat menyembunyikan diri dari manusia, aku ingin jadi yang pertama. Karena aku setan yang setia dalam kata-katanya, karena aku setan yang perkasa dengan yang kuharapkan, karena aku setan yang lebih baik daripada manusia. 

Kemarin aku melewati gerbang kota, membuntuti seorang pengemis yang sedianya mencuri makanan di sebuah toko. Menampakkan diri dalam kondisi yang perlente, aku masuk ke toko roti itu, hanya untuk memesan beberapa cake dan kopi. Seorang penjaga tua yang agak pikun menghampiriku. Aku tidak marah ketika ia berkali-kali menanyakan apa yang kupesan, berkali-kali aku berteriak di dekat telinganya. Aku ingin puas meneriakkan pesananku.
Pengemis itu berdiri di depan toko, memperhatikanku, melihat ke penjaga tua yang pikun, dan ke sejumlah meja yang kosong. Biasanya ia berdiri di dekat dapur, menunggu seorang pelayan memberi roti sisa dari pembeli yang sudah kekenyangan. Biasanya ia akan segera pergi setelah mendapat apa yang layak disebut sampah itu. Bisanya ia akan berterimakasih, biasanya akan dibalas dengan usiran. Tetapi hari ini, aku tahu, ia tidak akan melakukan kebiasaan itu. Pelayan itu sudah dipecat karena memaki seorang pembeli. Pembeli itu aku, yang kemarin datang sebagai nenek tua yang pikun. 

Sebagai pembeli, aku tidak berhak dimaki di toko roti ini. Dan sebagai pelayan, mereka berhak menerima beberapa cercaan dan dipecat. Lantas, pengemis itu kubisiki ide bagaimana mengelabui penjaga tua pikun. Penjaga yang sudah tidak pantas hidup seandainya ia tidak menjadi penjaga toko ini. Hanya pada sore hari toko ini ramai dengan penggemar kopi. Pagi hari hanya didatangi beberapa pekerja dan karyawan yang terburu-buru masuk kerja. Dan siang seperti ini, hanya jenis setan yang mau duduk dengan miuman panas. Tidak pernah dijual minuman mengandung es di sini. Jelas, pemiliknya tidak menyukai es.
Aku kenal baik pemilik toko roti ini, terutama ketika ia bercerai dengan istrinya. Aku pernah bercinta di kamar yang tidak dikunci sehingga si istri tahu. Dan sekarang lelaki itu sedang mencoba mencari jodohnya di pelacuran. Tapi, meski uangnya cukup untuk meyewa semua pelacur di tempat pelacuran, penisnya terlalu cepat mengantuk. Kalau malam ia akan pulang larut hanya untuk melayani tamu dan berbicara apa saja hingga malam bertemu dini hari. Dan aku benci lelaki yag banyak bicara itu.

Sedangkan di tokonya ini, seorang pengemis bersiap-siap mengambil beberapa roti yang dipajang, yang mudah diamati orang yang masuk sehingga mereka tergiur untuk memesannya. Karena seorang pelayan lagi sedang pergi ke pasar, pengemis itu akan merasa aman untuk melakukan saranku, mengambil beberapa roti ketika lelaki pikun itu sedang mengambil kopi. 

Pelayan pikun itu pergi, pengemis mengendap-endap seperti pencuri. Ia belum mencuri. Aku ingat bagaimana seorang pencuri amatir melakukan hal seperti itu, merasa jadi pencuri bahkan sebelum ia melakukannya. Menampakkan dirinya sebagai pencuri jauh lebih menakutkan daripada mencuri itu sendiri. Pencuri amatir itu mati dipukuli karena perasaannya sendiri. Waktu itu aku hanya menyarankan untuk mengambil beberapa perhiasan dari seorang kikir. Tujuannya selalu baik, istrinya sakit keras, dan segera mati setelah suaminya mati. Aku datang melayat, karena terlalu sedikit manusia yang mau mengusung peti tak berharga. Jasad yang meninggalkan beban, sarat dengan gunjingan dan segala jenis keengganan. Aku bertemu dengan banyak setan, mereka juga ingin memastikan, tugasnya selesai hingga ke liang lahat. Mereka tertawa-tawa terhadap kelucuan yang dibuat manusia bahkan hingga menjelang ajalnya. 

Pengemis yang ragu itu benar-benar seperti pencuri. Beberapa temanku akan datang, tepat ketika seharusnya ia mengambil roti-roti itu. Mereka bisa saja seorang pekerja kasar yang baru saja kehilangan beberapa celana dari jemuran, atau seorang yang dipecat dari tempat kerjanya, mungkin juga setan asli. Tetapi pengemis itu lebih menjijikkan dari yang kuduga. Tangannya sama sekali tidak cekatan, juga dengan seluruh tubuhnya yang tiba-tiba ambruk di dekat roti-roti itu. Sadar akan sesuatu yang mengerikan, pelayan pikun itu terburu-buru meninggalkan tugasnya. Aku tidak mengerti bagaimana seseorang lewat dan meneriakkan kata-kata yang seharusnya dilontarkan setan. Pengemis itu berdiri dan mendapatkan roti di tangannya, tapi tekanan di jantungnya terlalu kuat untuk menahan perasaan sebagai pencuri di siang bolong. Pelayan itu menangis sebagai sesama orang tua, dan orang-orang datang untuk memukuli lelaki lusuh yang tidak mereka kenal. Ia telah jadi maling, berakhir sebagai maling, dan menyesal sebagai maling. Aku ingin kerumunan itu berhenti, tetapi aku tidak akan tega mengganggu keasyikan mereka. 

Tak ada setan di kerumunan itu, aku juga segera pergi. Aku akan ke tempat pengemis itu biasa tidur dan meninggalkan anaknya, seorang laki-laki yang tidak punya kaki dan gemar melempar benda-benda ke wajah ayahnya. Temanku pernah melatihnya untuk melempar pisau, tetapi di gubuk itu tidak tersedia pisau. Aku mencoba membuatnya merobohkan tiang-tiang rumah kardus, tetapi dicegah pengemis yang tiba-tiba menjadi sangat kuat. Tetapi itu terjadi sudah sangat lama ketika pengemis itu masih seorang pemulung. Pengawalnya dulu adalah setan yang telah pindah tugas ke tempat orang-orang kaya. Hanya aku yang selalu bertekun di antara orang-orang miskin yang resah. Ini pekerjaan paling sulit yang hasilnya paling menyedihkan. Mereka mati tidak sebagai apa-apa. Bahkan aku ragu apakah neraka juga menerima ganjal kecil yang menjijikkan ini.

Rumah kardus itu sudah tidak ada. Sudah berganti sebuah bangunan permanen yang megah. Kabar dari temanku waktu itu mengatakan bahwa anak itu sekarang di dekat stasiun, sering nge-lem dan memaki-maki pelacur. Dan di dekat stasiun, ia sudah bukan anak-anak lagi. Tangannya sangat cekatan melempar sesuatu, mengalahkan beberapa pengamen dan pengemis. Menguasai beberapa anak dan kehebatannya dalam melontarkan makian tidak pernah tertandingi. 

Aku mendekati telinganya, membuat perasaan tak nyaman, dan mengabarkan firasat kematian tentang ayahnya. Tidak terlalu berhasil. Bahkan ia menggunakan namaku untuk memaki udara yang panas. Seorang anak kecil berlari, wajahnya waspada, dan mulutnya siap dengan kabar itu. Penggeroyokan itu memang cepat sekali beraroma, memenuhi udara kota yang semakin ciut. Dan aku akan pergi dengan kepuasan yang sangat sedikit, mengantarkan seorang penegmis ke kuburan lebih sulit daripada membuat anak-anak tanggung itu merasakan tubuh pelacur. 

Dan hari ini, betapa bergidiknya aku menemani jasad pengemis yang tidak segera dikubur. Untung aku tidak terpengaruh bau menyengat, bangkai dari bekas tubuh yang selalu kotor dan kurang makan. Anak laki-lakinya sudah mengerahkan semua anak buah untuk mencari tempat pemakaman. Kemarin rumah sakit yang mau memvisumnya tidak jadi memberi rekomendasi ataupun membelikan sepetak tanah ketika tahu itu tubuh pengemis. Bahkan, tubuh itu hanya mampir sebentar lalu diserahkan pada laki-laki tanpa kaki yang meminta dengan tak acuh tubuh ayahnya. 

Teman-temanku membuat orang-orang enggan mengasihi anak itu. Kelakuannya yang buruk, tattonya yang memenuhi tubuh, juga makiannya yang paling kasar telah menyingkirkan orang-orang. Dan sekarang, tiba-tiba aku yang menerima hukumannya. 

Tidak apa jika ini segera berakhir, tetapi menunggu membuatku terus berpikir. Aku merasa semakin tua dan tak berdaya jika harus berpikir, segalanya seperti berkurang terus, dan hukumanku sebagai setan seharusnya sudah cukup, tidak perlu ditambah dengan menunggui mayat. Apalagi anak laki-laki itu terlalu kurang ajar untuk bisa menghargai ayahnya. Aku benci sekali mendengar kata-katanya yang terus terang dan jujur itu, “Biarkan setan menguburkanmu!” Lebih senang mendengar orang berbohong dan pura-pura meratap, kasihan, lalu mereka pergi begitu saja. 

Malam sudah datang ketika aku menatap wajahnya yang beku, ingin rasanya bercakap-cakap lagi dengan hatinya. Ingin aku mendengar ceritanya tentang seorang perempuan yang mati terlindas kereta api. Kalau ingatannya bagus, ia akan mengimajinasikan seorang pelacur. Waktu di gerbang kota kemarin, ia sempat menginginkan hal seperti itu. Saat itu aku sudah cukup mengerti perasaan pengemis ini, yang tidak merasa muda lagi untuk bekerja keras. Ia sudah menerima segala sesuatu sebagai bukan miliknya, seandainya pun ia kehilangan nyawanya, ia pasti tidak akan merasa kehilangan. Dan aku menegaskan pada hatinya yang kecil, jika memang ia tak perlu memiliki, maka segala hal di dunia bisa jadi miliknya. Ia bebas mengambil sesuatu. Tuhan tidak akan marah, yang marah hanya manusia. Kemarahan manusia tidak perlu dipedulikan karena ia sudah renta, sudah waktunya menemukan dunia baru. 

Dan berakhirlah aku di sini, terhukum untuk mengantarnya ke liang bumi. Setan-setan yang baik tidak perlu melakukan seperti ini. Mereka akan segera pergi mencari rumah yang kesepian, menemukan hati yang sedih, mendapatkan luka yang memerah. Tapi aku menyesal telah menjadi setan yang tidak baik, yang menemani orang-orang miskin ini ke kuburannya. Apa kau pikir menjadi setan begitu menyenangkan?
Jogoyudan, 2006